BASAJAN.NET, Meulaboh- Malam itu, suasana yang semula riuh oleh kehadiran para peserta, perlahan berubah hening. Setiap orang mulai menempati tempat duduk, sebagian memilih duduk di bangku, sementara lainnya memilih lesehan di lantai rooftop Basajan.
Tak lama kemudian, lampu dimatikan. Cahaya dari proyektor mulai menyorot dinding putih, menampilkan judul yang mencolok, “Bloody Nickel”. Hujan rintik semakin memperdalam kesan suram setiap cuplikan yang disuguhkan dalam film dokumenter garapan Watchdoc itu.
Pada Sabtu, 17 Agustus 2024, tepat di hari peringatan Kemerdekaan Indonesia yang ke-79, Basajan.net, Sigeupai Cinema dan Hima KPI STAIN Meulaboh mengadakan nonton bareng (nobar) dan diskusi film dokumenter “Kutukan Nikel”.
Acara ini bukan sekadar tontonan, melainkan panggilan bagi mereka yang peduli pada nasib bangsa, membuka ruang dialog dan edukasi terkait isu-isu yang kian mendesak.
Film berdurasi 40 menit yang disutradarai Edy Purwanto ini, menyuguhkan gambaran nyata tentang kehancuran hutan akibat tambang nikel di wilayah timur Indonesia.
Pimpinan Basajan, Junaidi Mulieng mengatakan, film dokumenter “Kutukan Nikel” menunjukkan ironi di balik kemajuan industry, yang justru meminggirkan masyarakat lokal.
“Eksploitasi nikel yang seharusnya menjadi berkah, malah berubah menjadi “kutukan” bagi ekosistem dan kehidupan warga sekitar,” ujar Junaidi saat membuka diskusi.
Menurut Junaidi, narasi film tersebut tidak hanya mengkritik pemerintah dan korporasi besar, tapi juga mengajak penonton merenungi harga yang harus dibayar untuk sebuah kemajuan.
Ia menambahkan, saat ini nikel menjadi primadona di Indonesia, dengan cadangan terbesar di dunia. Namun, manfaatnya hanya dirasakan oligarki dan penguasa.
“Sementara masyarakat adat harus menghadapi kerusakan yang menyengsarakan,” lanjutnya.
Kebijakan Tak Memihak Masyarakat Adat
Film “Kutukan Nikel” dengan jelas menampilkan perlawanan masyarakat adat Togutil Habeba di Halmahera, Maluku Utara. Mereka menentang keberadaan tambang nikel di hutan adat. Hutan yang menjadi sumber kehidupan dirusak oleh deforestasi besar-besaran, memaksa mereka hidup dalam ketidakpastian.
Tambang yang ada tidak hanya merusak hutan, tetapi juga merambah wilayah pesisir, mengancam ekosistem pantai yang seharusnya dilindungi.
“Ini bukan hanya soal nikel, tapi kutukan atas sumber daya alam Indonesia. Keberadaannya mensejahterakan investor dan menyengsarakan masyarakat,” tegas Rahmat Syukur Tadu, Direktur Yayasan Apel Green Aceh.
Ia menyoroti kebijakan pemerintah kerap tidak berpihak pada masyarakat adat dan pulau-pulau kecil, yang akhirnya terjebak dalam konflik peraturan yang merugikan.
“Dalam keadaan seperti ini, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa negara kita benar-benar berdaulat? Kekuasaan tampaknya hanya dimiliki oleh oligarki yang bermodal besar, sementara makna kemerdekaan bagi kita semakin menguap,” tambah Syukur dengan nada penuh kekecewaan.
Diskusi terus berkembang, mengkritisi program ekonomi hijau yang diusung pemerintah melalui mobil listrik. Meski digadang-gadang ramah lingkungan, film ini mengungkap sisi gelap di baliknya; perusakan hutan dan pengusiran masyarakat pedalaman demi bahan baku nikel.
“Pertanyaan-pertanyaan besar muncul, seberapa banyak kerugian yang harus kita tanggung, dan apakah kita siap kehilangan pulau-pulau kecil yang terancam tenggelam?” tegas Syukur.
Di sisi lain, Fery, seorang praktisi tambang, menyampaikan perspektif berbeda. Menurutnya, sebenarnya pertambangan tidak sepenuhnya buruk, karena kita memang membutuhkan hasil tambang untuk kehidupan sehari-hari.
“Termasuk nikel. Saat ini semua barang elektronik yang kita pakai, salah satunya bersumber dari nikel. Bahkan peralatan rumah tangga yang terbuat dari stainless steel, juga berasal dari nikel,” terang Fery.
Ia menekankan, perlu pendekatan bijak dalam melihat permasalahan ini karena kompleksitasnya.
Hujan yang terus mengguyur, tak mengurangi semangat para peserta diskusi. Sesi tanya jawab berlangsung seru, memperlihatkan antusiasme dan kepedulian mereka terhadap isu yang dibahas.[]
=======================
WARTAWAN: OKA RAHMADIYAH
EDITOR: MELLYAN