Cang Nipah, Kisah Perang di Rawa Nipah (Bagian Akhir)

oleh -852 views
Penulis bersama Teuku Ali di Pulau Sada. (BASAJAN.NET/RAHMAT TRISNAMAL).

Penulis: Mellyan

Panjang Tulisan: 3797 Kata

.

Pulau Sada Tempat Para Raja Bertitah

Rusli mengungkapkan, di daerah Samatiga terdapat Kerajaan Bubon dengan pusat kerajaannya di Cot Seumeureung. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh T.M Ali. Salah satu Rajanya adalah Teuku Bubon Cut Amin. Saat itu, duek pakat (mufakat) untuk memilih Ulèëbalang yang akan memimpin Kerajaan Bubon, dilakukan di Pulau Sada.

Semua yang hadir satu suara, menunjuk Teuku Bubon Cut Amin, yang dianggap paling hebat. Selain muda, Teuku Bubon Cut Amin juga sosok yang gagah, alim dan pintar.

Nek tu (kakek) dari Teuku Raja Muda anak beliau T. Bubon Nyak Raja, juga jadi raja,” tambahnya.

Namun, karena anak Teuku Raja Muda sakit-sakitan dan kurang sehat mentalnya, kepemimpinan dipegang oleh Teungku Lafin, kemudian Teuku Ali Puteh. Keduanya masih ada talian saudara.

“Lalu kepemimpinan dipegang oleh Raja Tuha, itu kakeknya Teuku Ali,” ungkap Rusli mengenai silsilah Raja Bubon.

Menurut Rusli, Pulau Sada merupakan tempat pertemuan para raja dan pasukannya. Di pulau yang tersembunyi di hutan nipah itu, mereka memutuskan hukum, termasuk mengatur siasat perang.

“Namanya pulau Sada. Sada berarti Sabda. Bersabda raja-raja,” ujarnya.

Baca tulisan sebelumnya: Cang Nipah, Kisah Perang di Rawa Nipah (Bagian Dua)

Berdasarkan dialek orang Aceh, jadi Sada. Rusli mengatakan, menurut cerita yang dia dengar, pulau Sada juga menjadi pos pasukan Aceh ketika perang nipah.

Karena pentingnya Pulau Sada dalam penelusuran ini, tim Basajan menyusun jadwal yang tepat menuju Pulau Sada. Rencana awal, kunjungan ke Pulau Sada akan dilakukan pada 15-16 Mei 2022, namun gagal. Tidak ada boat yang dapat membawa kami ke sana.

Minggu selanjutnya, ekspedisi Pulau Sada kembali terancam gagal. Mendapatkan boat yang mau mengantar kami ke sana sangat sulit, karena jalur ke Pulau Sada cukup dangkal, sehingga pemilik boat enggan mengambil resiko. Takut boatnya tersangkut. Ada pula yang meminta ongkos di luar kemampuan dan kewajaran.

Akhirnya saya kembali menghubungi Teuku Ali, karena dalam wawancara sebelumnya ia pernah bercerita, sekitar dua tahun lalu pernah ke Pulau Sada dan menyaksikan sendiri batu nisan berukir di pulau itu. Nisan itu ia yakini milik Po Gah dan Po Ru, dua raja paling awal memerintah Samatiga Raya.

Di wilayah Aceh bagian Barat ini, nisan berukir sangat sulit ditemui. Jika yang disampaikan Teuku Ali benar, maka penelusuran kali ini akan menjadi sangat luar biasa.

Berkat koneksinya, Kamis, 26 Mei 2022, keingian kami untuk mengunjungi Pulau Sada terpenuhi. Tempat ini menjadi saksi bisu peristiwa heroik yang terjadi lebih dari seratus tahun lalu itu.

Tak jauh dari simpang tiga Suak Timah, di sisi kanan jalan, terdapat tempat pelelangan ikan sederhana, beberapa boat tertambat di bibir muara. Teuku Ali langsung menyapa sejumlah nelayan di sana. Setelah pembicaraan singkat, kami diarahkan untuk naik ke boat.

Di dalam boat, turut serta enam tim Basajan, Teuku Ali beserta Puterinya Cut Rahmah, seorang awak boat, Tu Usman selaku pemilik boat, dan T.M Yusuf yang hari itu menjadi guide kami menuju Pulau Sada. Cuaca terik hari itu tak menyurutkan semangat kami. Semilir angin dari rimbunan pohon nipah, menemani perjalanan kami siang itu.

Boat bercat biru milik Tu Usman berjalan mulus membawa kami menelusuri rawa nipah. Di sisi kiri dan kanan, pohon nipah dengan buah yang mulai ranum tumbuh di sepanjang sungai. Air sungai yang kehitaman dan beriak, ditambah pantulan cahaya matahari, memberikan efek dramatis tersendiri sepanjang jalur yang kami lalui. Moment itu pun tak luput dari tangkapan kamera.

“Jangan ke pulau Sada dulu, bawa kami ke lokasi Cang Nipah,” ujar Teuku Ali tiba-tiba kepada Tu Usman dan T.M. Yusuf.

Perjalanan ke Pulau Sada. Foto: Dok. BASAJAN.NET.

Mendengar permintaan itu, Fauzul dengan sigap mengarahkan kemudi boat yang semula akan berbelok, kembali lurus ke arah lokasi Cang Nipah. Sekitar lima menit kemudian, kami tiba di lokasi perang nipah. Di tempat ini sungainya lebih luas, jarak antara nipah di sisi kiri dan kanannya lebih jauh.

Saya membayangkan betapa mencekamnya situasi saat itu, serta betapa cerdas dan beraninya para pejuang Aceh, dengan taktik yang matang berhasil mengelabui musuh. Mungkin saja sampai hari ini, di dasar sungai masih menyimpan senjata-senjata milik Belanda, yang konon pelurunya sesekali ditemukan para pencari ikan.

T.M Yusuf atau lebih akrab dipanggil Yah Yuh, tahu persis lokasi Cang Nipah dari cerita-cerita orang tua di Samatiga. Terlebih, ia menghabiskan sebagian besar usianya di sungai dan laut Samatiga. Pria bertubuh kecil itu sangat ramah dan dengan sigap membantu tim, sambil menceritakan sebuah pulau lain yang sayang jika dilewatkan.

“Jadi Cut Bang, dan adik-adik sekalian, ada satu pulau lagi selain Pulau Sada, Pulau Sesembahan atau Singgahan. Pulau itu juga ada kaitan dengan peristiwa Cang Nipah,” ujarnya. Cut Bang adalah panggilan Yah Yuh kepada Teuku Ali. 

“Kalau begitu, nanti kita juga ke sana,” jawab kami, yang diamini oleh Teuku Ali.

Tak berlama-lama di lokasi Cang Nipah, boat berbalik arah. Sekitar lima menit, boat mulai merapat ke Pulau Sada. Tidak ada tanah landai tempat mendarat. Kami harus turun dengan melompat ke pinggir rawa-rawa dan melewati kawat berduri.

Tidak jauh dari pinggir pulau, terdapat kebun cabai milik warga yang sudah tidak terurus. Setelah berjalan beberapa meter di antara batang cabai yang daunnya mulai keriting, dengan rerumputan setinggi bahu orang dewasa, kami sampai ke lokasi kuburan berukir. Karena kondisinya yang ditutupi rumput liar dan ilalang, batu nisan itu tidak terlihat. Namun T.M Yusuf dan Tu Usman mengetahui dengan pasti lokasi makam.

“Dekat pohon ini,” tunjuk Yah Yuh dengan sigap.

Teuku Ali bergegas menebas rumput liar dengan parang yang sengaja dibawanya dari rumah. Perlahan nisan berukir itu mulai terlihat. Nisan dengan tinggi lebih kurang setengah meter itu berbentuk segi delapan.

“Kemungkinan besar bagian atasnya sudah patah, nisan di bagian kaki juga sudah hilang,” ujar Teuku Ali sambil membersihkan makam.

Menurut Yah Yuh, nisan itu sudah ada di Pulau Sada sejak lama. “Masa kami kecil nisan ini sudah ada, tapi kapan pastinya, hanya Allah yang tahu,” tekannya.

Tu Usman dan Yah Yuh, sampai saat ini masih mengingat pesan orang tua mereka yang melarang ke Pulau Sada, karena ada kuburan. Karena sering dilarangan, mereka semakin penasaran untuk mencari letak kuburan.

Orang tua Yah Yuh adalah tentara yang diangkat pada masa Jepang, Letkol Teuku Nyak Ben. Pensiun tahun 1973 di Tapak Tuan, Aceh Selatan.

Yah Yuh menuturkan, sepengetahuannya, dulu terdapat tujuh makam berukir di sana.

“Bentuknya lebih kecil dari yang ini. Ada yang bentuknya meusubang (beranting),” ujarnya.

“Iya, kami pernah melihat sendiri, tapi sekarang sudah hilang,” tambah Tu Usman yang hari itu memakai kaos orange.

“Mungkin ini bisa kita cari lagi, barangkali sudah tertimbun lebih dalam,” sahut Teuku Ali.

Lalu, Yah Yuh menunjuk lokasi enam makam lainnya yang berada tidak jauh dari makam pertama.

“Kalau kita berdiri di dekat makam ini, memang kelihatan enam makam lain kan Bang Man,” ujar Yah Yuh kepada Tu Usman.  

Cit deuh (memang kelihatan),” sahut Tu Usman.

Tu Usman dan Yah Yuh mengisahkan, jauh sebelum tsunami menerjang Aceh tahun 2004, Pulau Sada tidak bersemak dan mudah dikunjungi. Tempatnya elok dan bersih dengan hamparan rumput gajah yang menghijau.

Selain itu, pulaunya juga lebih tinggi, sekitar empat meter jika dihitung dari pinggir sungai di tepi pulau. Bahkan, di pulau itu sering diadakan pertandingan sepakbola antar dusun.

T.M Yusuf (kanan) dan Tu Usman. Foto: BASAJAN.NET/MELLYAN.

“Dulu kami tanding bola di sini, dengan dusun Peulantui dan Sapek,” terang Yah Yuh.

“Kami juga buat pukat di sini, dan boat berlabuh di sini,” ujar keduanya hampir serentak.

Teuku Ali menjelaskan, nisan tersebut diyakini milik makam Po Ru, raja pertama Kerajaan Bubon.

“Tapi sayang, makam Po Gah tidak ada,” sesal Teuku Ali setelah nisan makam itu terlihat. Po Gah sendiri adalah pengganti Po Ru.

Teuku Ali mengungkapkan, Kerajaan Bubon diperkirakan berdiri sekitar akhir tahun 1600-an. Pada saat itu, Pulau Sada memiliki peranan penting sebagai sentral pemerintahan Kerajaan Bubon.

Pengangkatan raja pada masa itu, ditandai dengan pengambilan “SK” berupa kupiah meukeutop langsung dari Sultan di Bandar Aceh Darussalam. Selain menjabat raja, Po Ru juga seorang ulama.

“Pulau Sada juga digunakan sebagai tempat untuk membina masyarakat,” terang Teuku Ali, sambil menyapu semut rang-rang yang mulai mengerumuni dan menggigit dirinya.

Teuku Ali memperkirakan, saat ini Pulau Sada memiliki luas sekitar 50 x 100 meter. Pulau Sesembahan lebih besar, sekitar satu hektare. Kedua pulau ini hanya berjarak satu kilometer dari jalan aspal.

Yah Yuh telah menghabiskan waktu di Pulau Sada sejak SMP. Bahkan, pria kelahiran 1962 ini, sering tidur di pulau itu jika sudah terlalu larut pulang melaut. Di sana, ia juga sering bertemu harimau.

“Bisa dikatakan kami besar di pulau ini. Di Pulau Sada dan Sesembahan ada penunggu tempat (harimau). Tapi dia tidak mengganggu, hanya melihat dan menjaga,” terang Yah Yuh.

Ia menuturkan, Pulau Sada dan Sesembahan dulunya hanya terpisah dengan alue (anak sungai). Setelah tsunami 2004, area persawahan warga yang berada di sekeliling pulau berubah menjadi danau.

Menurut keterangan Tu Usman dan Yah Yuh, di pulau itu dulunya terdapat rumah Ayahwa Usop. Selain itu, juga ada rumah Nek Sapek. Namun, setelah Nek Sapek meninggal saat musibah tsunami Aceh 26 Desember 2004 silam, pulau itu tak berpenghuni. Hanya dimanfaatkan warga untuk berkebun.

Sekitar 50 Meter dari nisan berukir, tak jauh dari gubuk yang lantainya telah hilang, terdapat sumur semen peninggalan Nek Sapek. Saat kami mendekat, sumur itu menguarkan bau menyengat dengan air kehitaman.

“Ini sumur milik Nek Sapek,” tunjuk Yah Yuh.

Menurut Yah Yuh, Pulau Sada pernah beberapa kali disinggahi masyarakat yang ingin berziarah ke makam di sana. Di antaranya dari Sawang, Aceh Selatan, dari Banda Aceh, Indrapuri, dan Aceh Besar. 

Ia juga mendengar kalau pulau ini akan dibangun tempat wisata, oleh pemerintah setempat.

“Benar atau tidak, kami tidak tahu. Mungkin kami dengar dari “radio rusak” (kabar angin)”, katanya sambil tertawa.

Yah Yuh sangat berharap lokasi bersejarah itu dipelihara, ilalang dan rumputnya dibersihkan. Sehingga wisatawan atau pun para penziarah yang datang merasa nyaman, tanpa harus menebas pepohonan, kehujanan, kepanasan, atau digigit serangga.

“Semoga nantinya tempat ini terawat, sehingga diketahui khalayak ramai,” harapnya.

Pulau Sada menjadi salah satu bagian penting dalam perjalanan sejarah Aceh Barat, dan wilayah Barat Selatan Aceh secara umum. Terlebih dengan keberadaan batu nisan berukir yang sangat sulit ditemukan di wilayah Aceh Barat. Tidak hanya dalam penelusuran data sejarah Cang Nipah, tapi juga hal lainnya yang berkaitan dengan Kerajaan Bubon dan Samatiga Raya.

Jika dibandingkan dengan wilayah Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie hingga Aceh Utara dan Timur, batu-batu nisan berukir yang menyimpan data sejarah peradaban masa lalu, masih sangat mudah ditemukan.

Menurut Teuku Ali, letak pulau Sada yang tersembunyi, telah menyelamatkan batu nisan berukir dari Belanda. Sehingga tidak ada keturunan para Ulèëbalang yang menyembunyikan batu itu. Kalau pun ada batu nisan yang menghilang di Pulau Sada, karena kondisi dan peristiwa alam.

Setelah Pulau Sada, kami menaiki boat menuju Pulau Sesembahan atau Singgahan. Jaraknya hanya lima menit dari Pulau Sada. Pinggiran pulau yang berbatasan langsung dengan rawa dan tertutup pelepah nipah, membuat boat susah untuk ditambatkan. Alhasil, kami harus melompat satu-persatu dari boat ke pinggir pulau.

Berbeda dengan Pulau Sada, Pulau Sesembahan lebih terawat dan tampak baru dibersihkan untuk berkebun. Gundukan tanah gembur memanjang dengan parit kecil di setiap sisi, hampir memenuhi seluruh area.

“Ini namanya Pulau Sesembahan, ada juga yang menyebut Singgahan. Singgah di sini dulu, baru ke Pulau Sada, karena itu namanya pulau Singgahan,” ujar Teuku Ali.

Yah Yuh menuturkan, dari cerita yang dia dengar, Pulau Sesembahan adalah tempat latihan pasukan zaman dulu. Selain itu, di sana ia dan penduduk lainnya juga sering menemukan peluru, temikar dan pecahan porcelain.

Dile meunyo ka taceumatok, cit ka meutemeung aneuk beude (dulu setiap kali mencangkul, memang sering dapat peluru),” ungkapnya.

Yah Yuh sendiri pernah menemukan serpihan keramik dan peluru. Namun peluru itu sudah dijadikannya mata kail. Sedangkan pecahan keramik, hilang entah kemana.

Makan di Pulau Sesembahan. Foto: BASAJAN.NET/RAHMAT TRISNAMAL.

Di Pulau Sesembahan terdapat dua makam. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan salah satu anggota Basajan, Rahmat Trisnamal, dengan menggunakan aplikasi android, masing-masing makam memiliki panjang 3,61 Meter dan 3,51 Meter. Hanya saja, kedua makam itu ditandai dengan batu biasa, tanpa ukiran.

“Ini tempat raja melatih pasukannya. Termasuk di Lamkuta juga,” ungkapnya.

Yah Yuh mengatakan, selain ditabalkan menjadi nama Yayasan, Lamkuta juga pernah digunakan pada event pertandingan sepakbola “Lamkuta Diraja Cup” tahun 1985.

“Saat itu yang mengikuti turnamen dari seluruh Aceh Barat dan tiga klub dari Banda Aceh,” kenang laki-laki yang kini hidup sebatang kara ini. Anak dan isterinya meninggal saat tsunami.

Cuaca hari itu sangat cerah, meski jarum jam telah menunjukkan pukul 18.00 WIB, namun langit masih tampak bersih kebiruan.

Bak sang kajeut ta gisa tanyoe Cut Bang (sepertinya sudah boleh pulang kita Cut Bang). Sebelum azan magrib, kita harus sudah pergi dari sini,” ujar Yah Yuh kepada Teuku Ali dengan wajah khawatir.

Kami bergegegas kembali ke boat, meninggalkan tempat yang sampai hari ini masih menyimpan berjuta misteri. Sejarah belum terungkap.

##

Nisan Oktagonal Milik Raja Bubon

Minggu, 12 Juni 2022, saya menghubungi Muhajir al Fairusy untuk mendiskusikan temuan kami di Pulau Sada. Ia adalah Dosen STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, sekaligus peneliti etnografi perbatasan Aceh.

Sebelumnya, saya pernah bercerita mengenai nisan berukir di Pulau Sada, ia berjanji akan membantu menanyakan tipologi batu itu kepada para arkeolog.

Saya mengirimkan beberapa foto nisan yang kami ambil di Pulau Sada. Tak lama berselang, Muhajir mengirimkan jawaban dari Amir Husni, arkeolog asal Aceh dan juga Dosen Universitas Jambi.

Dari penjelasan Amir Husni, nisan tersebut merupakan tipe segi delapan atau oktagonal, lebih dikenal dengan Othman tipe K. Terbuat dari batu pasir, tidak ada inskripsi kaligrafi. Tapi tipologinya mewakili tahun 1700-1800 M, satu periode dengan kerajaan Aceh Darussalam.

Nisan yang diyakini milik makam Po Ru, raja pertama Kerajaan Bubon yang ditemukan di Pulau Sada, Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh Barat. Foto: BASAJAN.NET/RAHMAT TRISNAMAL.

“Bagian bawah nisan dihias dengan motif kelopak bunga, sepertinya bagian puncak memiliki motif bunga teratai. Dominan digunakan oleh laki-laki, sedangkan untuk perempuan ada motif khusus pada periode ini,” demikian balasan pesan dari Amir Husni, yang diteruskan Muhajir ke saya.

Karena Amir Husni menyinggung bagian atas nisan yang ia duga memiliki motif bunga teratai, saya mengirimkan bagian foto bagian atas dari makam di Pulau Sada.

“Iya itu motif kelopak teratai, motifnya sangat tebal. Tebalnya motif menunjukkan kedudukannya yang sangat spesial,” jawab Amir Husni.

Saya juga memberi tahu, kalau di Pulau Sada dulunya terdapat tujuh nisan berukir. Namun kini hanya tersisa satu, termasuk nisan meusubang (beranting) telah hilang.

Menurut Amir Husni, kemungkinan besar itu adalah pengawal dan keluarga dari pemilik nisan oktagonal, sedangkan yang bentuk meusubang itu biasanya milik perempuan.

Dugaan Amir, nisan yang menghilang itu satu periode dengan nisan oktagonal, dan mereka adalah keluarga Ulèëbalang di kawasan itu.

“Sangat disayangkan sudah hilang, padahal bisa kita lihat lebih jelas sejarah Meulaboh,” tulis Amir Husni.

Selain Amir Husni, Muhajir juga menghubungi Dedi Satria, arkeolog yang sangat aktif dalam menyelamatkan batu nisan berukir di Aceh. Sama seperti Husni, menurut Dedi nisan di Pulau Sada adalah jenis nisan Aceh 1700-1870-an. Sebagai penanda untuk nisan laki-laki.

“Kami di lapangan menyebutnya tipe boeh limeng sagoe (tipe belimbing manis),” tulis Dedi dalam pesannya melalui Muhajir.

Dedi menambahkan, sebagai catatatan, beberapa kasus di Banda Aceh, batu Oktagonal atau boh limeng sagoe merupakan penanda untuk golongan masyarakat terhormat.

Batu berukuran besar sering kali digunakan untuk raja, bangsawan, atau pejabat istana seumpama menteri-perdana menteri, laksamana dan malik al-khattib al mulk.

“Diperlukan gerakan pemetaan sejarah di kawasan Barsela yang lebih serius,” tambah Muhajir.

Jovial Pally Taran, mengomentari status WhatsApp saya mengenai nisan yang diyakini milik Po Ru, Raja Bubon pertama. Jovial adalah peneliti dan peminat sejarah.

“Itu foto nisan Raja Bubon pertama ya?” tanyanya.

“Menurut keterangan narasumber iya, seperti tipe makam Aceh Darusalam ya?” saya balas bertanya.

Nisan yang ditemukan di Pulau Sada, Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh Barat. Foto: BASAJAN.NET/JUNAIDI MULIENG.

Kemudian Jovial mengirimkan gambar tipologi beberapa jenis makam dari tahun 1400 hingga 1800 yang telah diklasifikasi menurut bentuk dan tahunnya. Kemudian saya juga memberitahu jika ada enam makam lain, namun telah hilang.

“Memang rata-rata di kawasan terdampak tsunami, sedikit banyak kita kehilangan jejak arkeologis,” kata Jovial.

Jovial juga mengirimkan ebook Othman Yatim berjudul Batu Aceh. Berisi informasi penting mengenai bentuk, tipe, tahun, inskripsi dan hal penting lainnya terkait batu nisan, yang dapat menguak peradaban suatu bangsa itu. Jika merujuk keterangan dari Othman yatim, secara tipologi makam di Pulau Sada termasuk jenis oktagonal tipe (K) atau Othman Tipe K periode 1700 hingga1800 M atau masuk kedalam tipologi makam Kerajaan Aceh Darussalam 1500-an hingga 1901 M. 

“Selain buku itu ada juga Hasan Muarif Ambary dan Tgk. Taqiyuddin,” tambah Jovial.

Diskusi kami mengenai nisan di Pulau Sada berakhir dengan izin untuk menambahkan data tersebut ke tulisan.

##

Menurut Teuku Ali, sebelum Perang Aceh, di daerah Masjid Tuha dan Cot Seumeureung terdapat cukup banyak batu nisan berukir. Di tempat itu para raja dikuburkan. Namun ketika Belanda mulai menyerang, keturunan para raja menyembunyikan batu-batu itu dengan cara menguburnya di tempat yang berbeda dari makam asli. Batu-batu berukuran tinggi itu menarik Belanda untuk datang dan menginterogasi dan menghabisi keturunan para raja.

Peristiwa menyembunyikan nisan leluhur bukan hanya terjadi di Aceh, namun juga di kerajaan Padjadjaran. Informasi tersebut saya dapatkan dari Linda Christanty, seorang Jurnalis dan Sastrawan Indonesia yang tulisannya telah mendunia. Ia memberikan informasi tersebut dalam diskusi melalui Whattsapp setelah membaca tulisan Cang Nipah bagian pertama.

Baca tulisan sebelumnya: Cang Nipah, Kisah Perang di Rawa Nipah (Bagian Pertama)

Pemindahan batu-batu nisan leluhur agar tidak terjebak musuh, juga terjadi kepada raja Padjadjaran dan putra mahkotanya. Dalam perang, mereka memimpin pasukan khusus memindahkan batu-batu nisan leluhur. Reportase tersebut berjudul “Kisah Urang Kanekes dan Kujang Pusaka” yang ia tulis untuk Tirto.id.

Dalam tulisannya, Linda menyebutkan, hampir 450 tahun lalu, batu-batu leluhur Kerajaan Pakuan Pajajaran dipindahkan para ponggawa (pejabat tinggi) istana. Pemindahan dilakukan oleh dua rombongan. Rombongan pertama dipimpin tiga serangkai: Demang Haur Tangtu, Puun Buluh Paneuh, dan Guru Alas Lintang Kendesan. Rombongan kedua dipimpin putra mahkota Pakuan Pajajaran, Rahyang Santang Aria Cakrabuwana.

Prabu Ragamulya Suryakencana, raja terakhir Pakuan Pajajaran, memerintahkan operasi khusus tersebut. Setelah itu ia menghilang. Ia tidak dibunuh di Pulosari oleh Sultan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, seperti dalam versi sejarah yang banyak beredar.

“Di situ disebutkan batu-batu leluhur, tapi sebenarnya nisan-nisan leluhur,” terang perempuan yang pernah tinggal di Aceh dan mendirikan kantor berita pada 2006-2012 ini.

Alfian Ibrahim (1987) dalam catatannya menuliskan, Ulèëbalang merupakan kepala wilayah par excellence yang disebut raja dan dipertuan di negerinya masing-masing. Ulèëbalang juga berperan sebagai perpanjangan tangan atau pejabat dari Sultan Aceh yang memimpin negeri-negeri yang tunduk pada Kerajaan Aceh Darussalam.

Setelah abad ke 17, Ulèëbalang semakin menunjukkan eksistensinya. Karena masa itu, Kerajaan Aceh Darussalam mulai mengalami kemunduran, berbagai urusan pemerintahan diserahkan kepada Ulèëbalang yang mengurus wilayahnya dengan mandiri. Pengangkatan Ulèëbalang dilakukan oleh sultan dengan tanda yang dikenal dengan Cap Sikureung atau Cap Sembilan. Kekuasaan tersebut dikukuhkan dalam piagam yang disebut sarakata.

Sejak tahun 1878, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menyerahkan pemerintahan Aceh kepada gubernur sipil dan militer yang dibantu oleh asisten residen dan controller. Tahun 1936, Aceh dijadikan keresidenan dengan residen pertama J. Jongejans. Sebelumnya, Belanda membentuk pemerintahan Aceh ke dalam lima afdeeling yang dipimpin kalangan Belanda.

Dalam buku Atjeh 1896, A. Kruisheer menyebutkan, kelima afdeeling tersebut adalah Afdeeling Grote Atjeh, terdiri dari empat onderafdeeling (dipimpin oleh seorang kontrolir dari kalangan Belanda), yaitu, Kutaraja, Seulimum, Lhoknga dan Sabang. Afdeeling Noord Kust van Atjeh, terdiri dari enam onderafdeeling, yaitu Pidie, Meureudu, Bireuen, Lhokseumawe dan Lhoksukon dan Takengon.

Afdeeling Ostkust van Atjeh terdiri dari empat onderafdeeling, yaitu Idi, Langsa, Tamiang dan Serbojadji. Afdeeling West Kust van Atjeh terdiri dari lima onderafdeeling, yaitu Pulo Raja, Meulaboh, Tapaktuan, Simeulue dan Singkil. Terakhir, Afdeeling Alaslanden yang membawahi onderafdeeling Kutacane.

Pemecatan atau pelantikan Ulèëbalangjuga dikuasai oleh Belanda dan tidak harus menerima sarakata lagi dari sultan. Belanda tidak hanya menjadikan kekerabatan sebagai syarat menjadi Ulèëbalang pengganti. Kemampuan, loyalitas, dan integritas juga dipertimbangkan oleh Belanda.

Hal ini jauh berbeda dengan sistem turun temurun yang dijalankan oleh Ulèëbalang sebelum Belanda masuk ke Aceh. Namun, perlawanan dari sebagian Ulèëbalang bersama para ulama dan masyarakat terus berlanjut. Perang Aceh tak padam hingga Belanda angkat kaki.

Ukiran Nisan yang ditemukan di Pulau Sada, Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh Barat. Foto: BASAJAN.NET/RAHMAT TRISNAMAL.

Seperti di kawasan Samatiga juga dikenal sebagai daerah pertahanan dengan banyaknya kuta (benteng).

“Ada kuta di Suak Timah, Kuta Trieng, Nibong, Kuta Mane, dan Leukeun,” jabar Teungku Rusli.

Tiba-tiba, lelaki 51 tahun itu menanyakan siapa nama kakek saya. Pertanyaan mendadak itu membuat saya kelimpungan.

“Teuku Puteh,” jawab saya. Kebetulan orang tua saya juga berasal dari Cot Seumeureung.

“Teuku Musa (Puteh),” ralatnya.

Rusli mengungkapkan, Teuku Musa Puteh merupakan anak dari Teuku Usman bin Teuku Adek, bin Teuku Pakeh, bin Po Ru, bin Po He.

“Po He itu adik kandung Sultan Aceh, tapi saya tidak tahu adik sultan yang mana,” runut Rusli mengenai silsilah keluarga saya. Saya hanya bisa tersenyum dan berterimakasih untuk informasi yang ia berikan.

Lelaki berperawakan kecil itu mengatakan, saat itu wilayah Barat Selatan Aceh dibuka oleh salah satu Sultan Aceh. Kemudian Sultan mengutus adiknya untuk mengurus wilayah tersebut. Di antara keturunannya ada yang menjadi raja dan ulama.

“Itulah yang bisa saya ceritakan. Ini semua bukan cerita karangan, insyaAllah bisa dipertanggungjawabkan,” ujar mantan Ketua Mukim Masjid Tuha itu.

Menjelang magrib, Tabrani Joesoef baru saja pulang menggembala kerbau. Ia menyambut kedatangan kami dengan ramah. Saat ini ia menjabat Keuchik Suak Timah. Rumahnya hanya berjarak selemparan batu dari Tugu Cang Nipah.

Menurutnya, tugu itu dibangun untuk mengenang keberanian perjuang Aceh dalam peristiwa Cang Nipah. Pembangunannnya dilakukan tahun 1982.

“Di sini memang dikenal dengan hutan nipah, di situlah kejadiannya. Pengertiannnya bukan mencincang, tapi menebas tubuh musuh atau bertempur dalam rawa nipah,” paparnya.

Berdasarkan cerita dari orang tua di Samatiga, peristiwa Cang Nipah terjadi sebelum penyerahan kedaulatan Belanda ke Jepang. Dari cerita yang ia dengar dari sang kakek, untuk mengambil hati orang Aceh agar tidak melakukan perlawanan, Belanda juga memberikan pengobatan kepada masyarakat.

“Saat Jepang masuk, dokter-dokter Belanda tetap tinggal. Apalagi saat itu kan sedang ada wabah,” terangnya.

Tabrani berharap, informasi tentang Cang Nipah dapat menjadi pengetahuan bagi generasi muda.

“Sebuah kebanggaan, untuk kita kenang. Karena ini tidak mampu kita hargai dengan materi,” tutupnya.

Tugu Cang Nipah di Gampong Suak Timah, Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh Barat. (BASAJAN.NET/MELLYAN).
Cang Nipah di Mata Kaum Muda

Tak lengkap rasanya jika tulisan ini tidak menyertakan pendapat generasi muda mengenai heroiknya kisah perang Nipah. Sekaligus menyelami sejauh mana pengetahuan para pemuda Aceh tentang peperangan dan perjuangan indatu.

Cut Rahmi Aprilasari, 22 tahun, asal Samatiga, mulanya gadis menolak ketika diwawancara. Ia beralasan tidak mengetahui mengenai peristiwa Cang Nipah, meskipun ia sering melintasi tugu Cang Nipah yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya di Cot Seumeureung, Samatiga.

Menurut gadis bertubuh mungil ini, mempelajari sejarah sangat penting, namun cukup membosankan. Ia sangat berharap ke depannya hadir edukasi yang dapat memantik keingintahuan generasi muda mengenai sejarah.

Ketika Tim Basajan bertanya mengenai buah yang berada di atas tugu Nipah, Rahmi sedikit kebingungan menjawabnya.

“Itu buah sawit,” ujarnya tersipu malu.

Nora Julita, sore itu mengenakan setelan berwarna merah muda dengan pulasan lipstick fuschia. Berbeda dengan Cut Rahmi, Nora tidak menyukai sejarah.

“Karena malas ingat-ingat masa lalu,” ujarnya sambil tersenyum.

“Itu buah cemara,” jawabnya ragu, ketika ditanya mengenai buah apa yang berada di atas tugu Nipah.

Novita Mahmia, 23 tahun, merupakan mahasiswa STAIN teungku Dirundeng Meulaboh. Gadis ini menyebut simbol buah Nipah di atas tugu dengan batu.

“Iya, itu batu,” ujar Novita ragu, sambil memperhatikan foto Tugu Nipah lebih seksama.

Samsumar mengetahui lebih banyak mengenai sejarah Cang Nipah. Pemuda Samatiga ini menyatakan, sebagai generasi bangsa sangat tidak bijak jika tidak menghargai perjuangan indatu. Termasuk makam dan jejak-jejak peninggalannya.

“Sudah selayaknya kita lestarikan,” ujarnya.

Selesai wawancara, di dalam Jimny Putih yang menemani kami menelusuri Sejarah Cang Nipah, Noza dan Fahmi berseloroh.

“Niat hati Kak Mel mencari data Cang Nipah. Eh rupanya, enggak sengaja sedang menelusuri silsilah keluarga sendiri,” ujar mereka tertawa.

Tugu nipah yang telah membuat saya penasaran sejak kecil, akhirnya menemukan titik terang. Dulu setiap melintasi Banda Aceh-Meulaboh, saya selalu bertanya kepada orang tua itu tugu apa, kenapa di atas nipah ada parang yang seolah membelah nipah. Puluhan tahun kemudian, pertanyaan itu membuahkan sedikit jawaban. (*)

===================

EDITOR: JUNAIDI MULIENG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.