Merdeka Belajar Ala Mahasiswa KPI STAIN Meulaboh

oleh -342 views

BASAJAN.NET, Meulaboh- Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Teungku Dirundeng Meulaboh, punya cara tersendiri dalam memaknai konsep merdeka belajar. Salah satunya melalui karya film dokumenter.

Senin, 7 Juni 2021, 30 mahasiswa semester enam Prodi KPI Jurusan Dakwah dan Komunikasi Islam, mengadakan diskusi dan nonton bareng lima film dokumenter. Film ini merupakan hasil praktek mata kuliah Produksi Siaran TV dan Film.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pemutaran film kali ini diadakan secara daring, melalui aplikasi Zoom Meeting dan live channel Youtube STAIN Meulaboh. Diikuti lima puluhan lebih peserta dari dosen dan mahasiswa.

Diskusi film dokumenter mahasiswa KPI STAIN Meulaboh. Foto: bidikan layar Zooom.

Awalnya, pemutaran film direncanakan pada bulan ramadan, bersamaan dengan buka puasa bersama. Tapi karena beberapa kendala dan kondisi COVID-19, maka terpaksa diadakan secara online.

Dosen pengampu mata kuliah Produksi Siaran TV dan Film, Junaidi menyampaikan, diskusi dan pemutaran film telah menjadi tradisi di Prodi KPI sejak tahun 2015. Dimana setiap tahunnya, para mahasiswa menghasilkan minimal tiga film dokumenter.

“Tahun ini ada lima film yang dihasilkan oleh 30 mahasiswa yang dibagi dalam lima kelompok,” ujarnya.

Menurut Junaidi, apa yang dilakukan mahasiswa KPI STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, sejalan dengan konsep merdeka belajar yang sedang digadang secara nasional.

“Bahkan jauh hari sebelum konsep merdeka belajar digaungkan, kami di Prodi KPI STAIN Meulaboh sudah menerapkannya. Terutama pada beberapa mata kuliah tertentu,” terangnya.

Junaidi mengatakan, pemutaran film dilakukan sebagai bentuk apresiasi terhadap karya yang sudah dihasilkan oleh mahasiswa. Sekaligus untuk mendapatkan umpan balik dari penonton.

“Dari masukan yang diberikan oleh pemateri dan penonton, nantinya masing-masing kelompok akan merevisi kembali film mereka,” terangnya.

Junaidi berharap, film yang dihasilkan dari mata kuliah tersebut dapat memacu mahasiswa dalam menghasilkan karya-karya lainnya.

“Hal terpenting bukan nilai secara akademis semata, tapi bagaimana mempertanggungjawabkan keilmuan yang ada kepada masyarakat,” pesannya.

Adapun lima film dokumenter tersebut yaitu, “Melawan Batas” bercerita tentang kehidupan tunanetra yang berjuang dalam menghafal al-quran.

“Tak Sedarah” berkisah tentang kehidupan anak panti asuhan yang memiliki masalah sosial. “Sampah Kita Berkah Mereka” mengangkat tentang persoalan sampah dan kehidupan pemulung. 

Kemudian “The Man of Keukarah” berkisah tentang anak muda tunawicara yang menjadi tulang punggung keluarga melalui usaha kue tradisional Aceh, keukarah. Terakhir ada “Sulok” film yang berkisah tentang pengalaman spiritual para jamaah suluk di salah satu pesantren di Aceh Barat.

Selain nonton bareng, acara juga diisi dengan diskusi yang dipandu oleh Maya Sartika. Menghadirkan dua pemateri yaitu, Azhari Meugit, pegiat film dokumenter dari Aceh Documentary Competition (ADC) dan Murthada penikmat film dokumenter yang pernah aktif di bidang sinematografi.

Azhari dalam paparannya menjelaskan, kelima film yang diputar tersebut terdapat kekurangan dari segi konflik dan sisi dramatis. Kemudian ia juga mengkritisi beberapa scene-scene yang seharusnya tidak perlu dimasukkan, sehingga terasa sangat mengganggu. Selain itu, secara pendekatan lebih mengarah ke karya jurnalistik.

Menurutnya, untuk menghasilkan karya film yang bagus, diperlukan ide dasar dan plot sebelum observasi. 

Sebelum menentukan ide, hal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah membuat mapping problem, kemudian riset kelapangan dan memilih cara bertutur.

“Ada banyak cara bertutur di dalam film yang bisa dipakai,” ujar Azhari dalam diskusi tersebut.

Sementara Murthada mengatakan, dalam pengerjaan kelima film tersebut terlalu buru-buru, terutama dalam menampilkan subjek. 

Ia berpendapat, dalam film dokumenter harus dipahami bagaimana menampilkan sesi wawancara dan siapa yang akan diwawancara.

“Bukan bagaimana kita menampilkan angle videonya,” ujar Murthada.

Murthada juga mengkritisi pembabakan kelima film tersebut, yang menurutnya belum mampu memancing penonton untuk mengikuti keseluruhan cerita.

“Mudah ditebak dan semua persoalan sudah duluan dijawab di awal film,” tambahnya. []

 

PENULIS: OKA RAHMADIYAH

EDITOR: REDAKSI

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.