BASAJAN.NET, Meulaboh- Buraq Lam Tapa bersyair. Suara seraknya terdengar nyaring. Ia mengisahkan Sidalupa yang terusir dari kampung halamanya di India, karena suatu kesalahan yang membuat sang raja murka. Dalam keadaan ketakutan yang teramat sangat, keduanya melarikan diri dengan sebuah perahu buntung mengarungi Samudera Hindia.
“Nyan diceriterakan dalam bab pertama, Sidalupa diplung ngoen peraho buntong (itu diceriterakan dalam bab pertama, Sidalupa melarikan diri dengan perahu buntung),” Buraq Lam Tapa bersyair mendayu-dayu.
Berdua kakak beradik itu terombang-ambing di tengah lautan. Nama mereka adalah Sidal dan Upa. Maka dikenal dengan Sidalupa. Dapat juga bermakna Sida lupa keu adek, adek lupa keu da (Kakak lupa adik, adik lupa akan kakak).
Setelah terombang ambing di tengah laut, datang angin kencang dan puting beliung, terhempaslah keduanya ke lautan. Hingga akhirnya Sidalupa terdampar di pesisir barat Aceh. Di kejauhan Sidalupa melihat dua pohon Aron (pinus). Keduanya mendekat ke pantai menggunakan perahu buntung ke bibir pantai Kuala Bubon.
Masih melalui syair yang dilantunkan Buraq Lam Tapa, Sidalupa sampai ke Cot Amun, sekarang masuk Kecamatan Samatiga, mereka berdua kelelahan sampai tertidur. Mereka melanjutkan perjalanan hingga ke Cot Kuyun.
“Troh keunan awak nyan dilinteung dibuya (Sampai disitu mereka dihalang oleh buaya,” suara Syekh Buraq masih menggema.
Tiba di pengkolan Rambung, Sidalupa mengayuh perahu buntung sampai ke sungai Layung. Sungai itu mempunyai dua muara. Muara berakhir dalam hutan rimba. Sekarang terletak di Desa Liceh, Kecamatan Bubon. Di situ terdapat sebuah gunung bernama Glee Tarom Pucok Sikumbang.
“Awak nyan deuk alahai hana dipajoh sapue (mereka kelaparan, tidak makan apa-apa),” suara Syekh Buraq mengalun.
Berpuluh tahun mereka di dalam gua, hingga tubuhnya ditumbuhi bulu yang sangat lebat. Bertahun kemudian, menurut hikayat sekitar tahun 1828, keberadaan Sidalupa diketahui oleh masyarakat. Mereka mencari tahu keberadaan dua bersaudara itu.
“Ureng meu-untong-untong dalam rimba, (Orang-orang mencari peruntungan) sekarang wilayah itu terdapat di perbatasan Woyla dan Bubon. Mereka berada di dalam gua, Pucok Sikumbang batasan Woyla,” Buraq Lam Tapa bersyair.
Karena penasaran dengan kabar keberadaan makhluk dalam gua, orang kampung beramai-ramai menuju gua di Pucok Sikumbang. Mereka melihat banyak rotan yang tumbuh di sekitar gua.
Dalam hikayat disebutkan, rotan yang ada di dekat gua ditarik oleh orang-orang kampung. Terdengarlah suara seperti suara orang mendengkur. Tapi dengkurannya sangat keras. Dengan segala cara, warga mengajak Sidalupa turun gunung. Usaha mereka selalu gagal. Sampai akhirnya, salah seorang dari mereka mengusulkan untuk memancing Sidalupa dengan cermin.
Cermin itu diletakkan dekat dengan wajah Sidalupa. Mungkin karena kaget, mereka mengikuti arah cermin itu. Cara ini membuat Sidalupa sempat turun dari gua. Namun hanya sampai pinggir desa, keduanya kembali berlari ke dalam Gua Liceh. Hingga berulang sampai tiga kali kejadian serupa. Tidak lama kemudian, diduga akibat kelaparan, Sidalupa mati.
“Sidalua ka mate, (Sidalupa sudah mati), dari atas gua terlihat batang Murong dan pohon Bangka yang angat besar. Di pohon Bangka ada seekor lutung atau sejenis monyet, menjulurkan kepala ke dalam gua. Kakinya menghadap ke atas, ia jungkir balik,” syair Buraq Lam Tapa mengalun tanpa henti.
Daerah tersebut berupa rimba raya, dalam syair disebutkan, berbagai makhluk mengerikan di sekitar gua. Di pinggir gua juga ada Geunteut, ia penjaga sepanjang lingkar kolam yang dinamakan Geunang Liceh. Geuntet itu adalah bangsa iblis dan setan. Kalau di Aceh dinamakan juga tuleung dong. Setelah Sidalupa mati, bertahun tahun kemudian, dikisahkan warga mulai membuat kesenian Sidalupa.
Cerita ini dikisahkan oleh Pang Kaom kepada Buraq Lam Tapa (Syekh Din) sekitar tahun 1962. Saat itu Syekh Din yang memiliki nama panggung Buraq Lam Tapa masih muda dan sudah mementaskan Sidalupa bersama dengan para tetua seperti Pang Gampong, Nektu H. Dong, Pang Kaom, Nek Tu Mion, Lem Him Sukon, Lem Marikon, mereka mementaskan Sidalupa diperhelatan pernikahan maupun sunat Rasul.
Masa itu belum ada lampu, yang ada hanya pelita, kain yang dibalur minyak tanah kemudian dimasukkan ke dalam bambu, di bakar dan dijadikan suloh yang dipasang di sepanjang pagar untuk penerang. Setiap pementasan Sidalupa tampil, warga kampung tumpah ruah menyaksikan pertunjukan.
Pementasan Sidalupa saat itu masih terbatas di wilayah Woyla, Bubon dan Samatiga. Tahun 1960-an, Sidalupa masih menggunakan kostum yang dikreasikan dari daun pisang kering (Oen Keureusong). Untuk bagian wajah, juga masih menggunakan bahan yang tersedia di alam, yaitu jantung pisang yang dibuatkan lubang untuk hidung, mata dan mulut. Terlihat seperti memakai topeng.
“Sileupok jantong (kelopak jantung) pisang dulu berbeda dengan sekarang, dulu ukurannya besar, sekarang kecil-kecil,” ujar Syekh Din.
Karena dirasakan terlalu sederhana, kemudian oleh H. Dong, Pang Gampong dan Nektu Kama, mengkreasikan Sidalupa menjadi seperti sekarang. Sekujur tubuh Sidalupa dan bagian wajah untuk topeng, dipasangkan ijuk dan bahan lainnya.
Menurut Syekh Din, sejak tahun 1999 Sidalupa mulai bekembang dan diketahui keberadaanya oleh masyarakat luas. Kemudian tahun 2001 semakin berkembang sampai sekarang. Meski saat sejak konflik melanda Aceh, banyak kesenian yang mulai ditinggalkan, namun Syekh Din tetap tampil mementaskan Sidalupa. Walau tak terlalu sering. Konflik sempat mematikan seluruh sendi kehidupan orang Aceh, termasuk seni.
“Alhamdulillah sekarang semua aman, semoga Aceh selalu damai,” harap lelaki yang telah mementaskan Sidalupa lebih dari setengah abad ini.
Buraq Lam Tapa
Syekh Din menamakan sanggarnya Sanggar Buraq Lam Tapa Grup Sidalupa. Grup ini penah menjuarai berbagai perlombaan, di antaranya pada tahun 2004 di Banda Aceh, menjuarai Pekan kebudayaan Aceh (PKA), pada lomba 17 Agustus 2001 mendapat nomor satu, tahun 2007 ikut festival seni di Jakarta meraih juara harapan 1 dari 38 negara yang tampil saat itu.
“Saat itu, kita kalah dengan Bali, di sana pemerintahnya sangat memperhatikan seni, berbeda dengan kita,” keluhnya.
Saat PKA ke 6 tahun 2013, sanggar ini juga meraih juara satu untuk kategori pawai budaya. Kemudian Pekan Kebudayaan Aceh Barat (PKAB) mereka juga mendapatkan juara pertama. Tahun 2018 mereka juga terlibat memeriahkan PKA 7.
Bukan tanpa alasan Syekh Din memiliki nama panggung “Syekh Din Buraq Tapa.” Disebut Buraq, karena ketika ia tampil, gerakan tangganya seperti Buraq, cepat.
“Buraq itu kendaraan yang membawa Nabi kita Isra’ Mi’raj, gerakannya sangat cepat seperti kilat,” Syekh Din menjelaskan.
Syekh Din menguasai banyak bidang seni, seperti seudati, rapai, top daboh, tarian aksi, seurune kalee, teater, sandiwara, hikayat, termasuk nazam.
“Semoga Bijeh bijeh yang tinggai (generasi penerus), Sejarah Aceh akan dijunjung tinggi, ada penerusnya,” ujarnya berhikayat di tengah-tengah percakapan.
Pada tahun 1960-an sampai 1980-an, ketika tampil mereka hanya diberikan makanan saja. Sejak 1999 sudah mulai ada bayaran dan uang rokok. Sekarang sekali tampil, mereka memasang tarif sekitar Rp1,8 juta. Ada juga seurune kale, canang, dan tarian, sebagai pemanis. Pelakon utamanya tetap Sidalupa.
Untuk hajatan, mereka akan menampilkan tiga penampilan, mulai halaman di rumah, di depan tamu dan saat menyambut linto. Kesenian ini mulai berkembang setelah sempat hampir menghilang. Perkembangan seni yang mulai menggembirakan ini, membuat Syekh Din yang sudah senja semakin bersemangat menggerakkan generasi muda untuk mencintai kesenian daerah.
Syekh Din tak bisa memastikan jumlah penampilan Sanggar Buraq Lam Tapa dalam sebulan. Jika pesanan sepi, sanggarnya pernah tak tampil sama sekali. Namun pernah juga dalam sebulan hingga berulangkali tampil, sampai-sampai harus menolak tampil karena padatnya jadwal. Biasanya di bulan Syawal, Maulid dan setelah musim panen padi banyak piasan dan banyak kenduri di Aceh. Mulai dari pernikahan, sunat rasul hingga turun tanah.
“Saat itulah kami kebanjiran order,” ujarnya sambil tertawa.
Sanggar Buraq Lam Tapa saat ini memiliki 18 anggota. Tapi yang sering tampil hanya 11 orang, mengingat dana yang minim. “Tidak semua bisa dibawa pentas, tidak cukup dana” ujarnya.
Syekh Din belum berniat mengajukan atau membuat proposal bantuan kepada pemerintah, meski mereka pernah diberikan bantuan oleh pemerintah daerah. “Pernah diberikan, namun masih minim,” jelasnya.
Syekh Buraq Lam Tapa memiliki nama asli Nurdin, tubunnya tambun. Sebagian rambutnya mulai memutih, lelaki kelahiran 1931 ini masih terlihat bugar. Kini dari dua anaknya, Syekh Din telah dikarunia lima cucu. Ia tinggal di Keude Layung, Kecamatan Bubon, Aceh Barat bersama sang Isteri.
“Alhamdulillah saya masih diberikan kesehatan, saya masih tampil disemua pertunjukan Sidalupa, meskipun mata saya sudah hampir tidak bisa melihat,” ujarnya bersemangat, sambil sesekali menyeruput kopi.
Syekh Din akan terus berkarya hingga akhir hayatnya. Karena seni telah menjadi bagian dari hidupnya.
“Saya teringat sejarah ini warisan nenek moyang kita. Makanya saya berupaya melestarikannya. Sampai akhir hayat,” ujarnya.
Mewarisi Sidalupa
Di dekat Syekh Din, duduk Bahagia M yang hari itu memakai kemeja batik merah tampak tersenyum ramah. Semua rambutnya telah memutih. Ia merupakan salah satu anggota Sidalupa yang kini telah pensiun. Posisinya sebagai penabuh Canang, telah digantikan oleh sang anak. Namun minat dan ketertarikannya pada seni tak pernah pudar.
Ia bergabung dengan Sanggar Buraq Lam Tapa tahun 2004 hingga 2008. Selain sebagai penabuh canang, ia juga pendamping Syekh Din, yang menjadi penunjuk jalan bagi Syekh, karena kondisi mata Syekh yang sudah memprihatinkan.
“Saya mencintai seni. Makanya saya ikut. Budaya ini membutuhkan penerus, agar generasi selanjutnya dapat menikmati Sidalupa. Lagipula ini sangat khas, tidak ditemukan di tempat lain,” ujarnya.
Ia masih dapat merasakan antusias dan kegembiraan penonton saat mereka tampil. Hal tersebut menjadi pengalaman pentas yang menghaharukan. “Saat orang-orang antusias menonton. Rasanya sangat bahagia.”
Mengenai adanya mistik dalam pementasan Sidalupa, Bahagia mengatakan hal itu sama sekali tidak benar. Ia menegaskan, tidak ada unsur mistik di dalamnya, melainkan hanya hiburan, pementasan dan dakwah dibalut dengan zikir.
“Tidak ada unsur mistik di dalamnya, hanya topeng biasa,” ujar Bahagia M, yang dibenarkan oleh Syekh Din.
Teuku Zul Aqli, sama dengan Bahagia M, ia lahir pada tahun 1949. Diusianya kini, ia masih menjadi pemeran utama, sebagai Sidalupa satu sejak tahun 1999. Biarpun di dalam kostum itu rasanya panas, tapi ia sangat mencintai pekerjaannya.
“Ini menjadi hobi saya,” ujarnya tersenyum.
Ia mampu bertahan dalam kostum berbulu ijuk itu sekitar tiga jam, tergantung cuaca. Teradang, sampai pusing karena pengap dan kepanasan. Jika itu terjadi, ia memisahkan diri dari pentas dan membuka kostum, diberi air oleh rekan sesama seniman, dan kembali melanjutkan penampilan. Tak hanya Sidalupa, grup ini juga menampilkan Serune Kalee, tonen atau musik tradisional Aceh, Mamba, Canang, Tambo, Rapai, dan sebagainya.
“Kita menampilkan paket komplit,” ujar Teuku Zul Aqli.
Syekh Din berupaya melestarikan kebudayaan melalui generasi muda, salah satu pemuda yang bergabung dalam grup ini adalah Rahmat Saputra, kelahiran 1996. Ia bergabung dengan Sidalupa sejak 2012, perannya di bagian tambo (canang).
Syekh Din mengajaknya karena ia tahu dalam diri Rahmat memiliki bakat. Rahmat merupakan anggota drumband di sekolahnya, juga punya grup band. Ia menjadi drumer band Linto milik sekolahnya.
“Saya hobi di bidang musik,” ucap pemuda bertubuh kurus itu.
Setelah enam tahun bergabung dengan sanggar Buraq Lam Tapa, Rahmat terkenang dengan salah satu pementasan Sidalupa di PKA 2013 lalu.
“Bagi saya itu yang paling berkesan, karena paling meriah. Berjumpa dengan banyak rekan dari berbagai daerah,” kenang Rahmat yang bercita-cita untuk sukses di bidang musik.
“Sekarang kerja doorsmer. Tidak melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi,” lanjutnya, tersipu.
Sebagai generasi muda, ia berharap para generasi harapan negeri, berpartisipasi dalam meneruskan budaya, adat istiadat dan sejarah Aceh.
“Agar adat dan budaya kita tidak hilang,” tutupnya.[]
WARTAWAN: MELLYAN
EDITOR: JUNAIDI MULIENG