Aroma Luka dan Rindu

oleh -1,131 views
ILUSTRASI: PIXABAY

OLEH: MELLYAN*

 

BASAJAN.NET, Meulaboh- ADA AROMA rasa menusuk labirin rindu. Amis, anyir menyatu dengan bau pasir yang tersiram asinnya air laut. Menguarkan aroma aneh. Terasa berat dan pekat. Bulan dan bintang terlihat malu-malu di atas sana. Sepasang mata menatap Lekat. Tak ada satu pun yang lain, kecuali aroma rindu dan debur ombak.

Di kejauhan, matanya menangkap kerlip cahaya kunang-kunang yang kian mendekat. Seperti kunang-kunang yang bermain bersamanya dan Maneh 13 tahun silam.

Laut sangat ganas malam ini. Beberapa kali lelaki muda itu harus menghindari ombak besar yang seolah menyeretnya. Ia merebahkan tubuhnya di atas pasir, menikmati sisa malam. Betah memandangi gelap.

Ada rasa bahagia sekaligus sedih yang menyelusup di hatinya. Rasa itu silih berganti, laksana irama dengan not yang tepat menghasilkan simfoni luka. Tak terasa matanya basah.  Ia masih takjub mengamati wujud lautan, bermain bersama debur ombak.

Saat musim Barat, laut lebih ganas dari malam ini. Bahkan para nelayan terpaksa melabuhkan kapal mereka dan bertahan dari hasil melaut sebelumnya. Begitu juga Emak dan Bapak. Hanya bisa pasrah dengan suratan alam.

“Siapa yang mampu melawan alam?” tanya Bapak suatu ketika, sambil menghembuskan asap rokok ke seluruh ruangan. Maneh tak suka asap rokok, wajahnya masam. Ia terbatuk-batuk, namun tak berani protes.

Rumah nelayan di desa Padang Seurahet berdiri di bibir pantai. Bentuknya seragam. Kayu-kayu penyangganya telah lapuk dimakan usia, dengan cat yang pudar terpapar cuaca. Tidak ada bunga atau tanaman hias di halaman. Hanya jaring, pukat, kail dan ikan-ikan yang dijemur. Namun jangan pernah bayangkan mereka merana, nelangsa.

Anak-anak nelayan bermain di laut atau di pantai sepuasnya. Tidak ada larangan. Sejak lahir mereka sudah disambut deburan ombak. Kecuali saat azan magrib berkumandang dari meunasah kecil di desa Padang Seurahet. Para ibu berteriak memanggil anak-anak mereka. Magrib adalah waktu pantangan, tidak ada yang berkeliaran.

Suatu hari, Maneh yang saat itu berumur enam tahun merengek pada sang Ibu. Salmah dengan sabar membujuk putrinya agar segera tidur siang. Senandung hikayat dan doa-doa ia lantunkan, hingga ia sendiri ikut terlelap.

Khaidir pulang dan mendapati adiknya masih bermuka masam, sedangkan sang Ibu tertidur di ruang tamu. Sebenarnya tidak bisa dikatakan ruang tamu, hanya ada selembar tikar di ruangan itu. Tempat ia bersama Maneh, Bapak dan Ibunya berkumpul untuk makan malam atau sekedar bercengkerama. Hampir semua hal dilakukan di ruang itu, mulai dari makan, belajar, bermain, menerima tamu, hingga tidur. Mereka miliki kamar tidur, tapi hanya satu. Bapak terpaksa menyiapkan satu kasur tipis untuk anak lajangnya melepas lelah setiap malam. Usia Khaidir sudah 13 tahun.

Khaidir sangat menyayangi Maneh. Setiap pulang sekolah, pasti ada hadiah untuk adik kecilnya. Entah itu ilalang yang tumbuh di pinggir jalan, dicabuti oleh Khaidir dan dirangkai untuk adik tercinta. Terkadang ia memberi Maneh mainan bongkar-pasang yang ia beli dari hasil tabungannya. Atau hanya es lilin dan sepotong roti. Semua diterima Maneh dengan bahagia, dengan tawa terbaiknya untuk Abang tercinta, hingga deretan gigi depan Maneh yang membusuk dimakan ulat, terlihat oleh Khaidir. Khaidir pun ikut tertawa.

Jika sang Ibu terlalu lelah, setelah seharian bekerja mencuci dan menggosok di rumah orang-orang kaya yang letaknya cukup jauh dari kampung mereka, Khaidir yang mengambil alih pekerjaan sang Ibu menemani dan menidurkan Maneh. Ia seringkali mendongeng, menceritakan kisah-kisah yang pernah ia dengar di sekolah. Terkadang, agar cerita lebih berkesan, ia menambahkan kisah itu sekehendaknya. Hari itu, Khaidir sedang berkisah tentang nama gampoeng mereka, Padang Seurahet.

Dahulu, tempat ini tidak ada penduduknya sama sekali. Hanya padang pasir yang tidak terlalu luas, yang terletak di pinggir pantai. Ketika orang-orang mulai berdatangan, mereka membangun rumah di padang itu. Hingga membangun desa dan di namakan Padang Seurahet. Pekerjaan sehari-hari para lelaki adalah nelayan. Penduduk di desa ini hidup dengan damai dan tenteram.

Maneh terlihat kurang menyimak cerita Abangnya. Namun tatapan matanya menerawang. Khaidir hafal mimik ini. Pasti adiknya menginginkan sesuatu. Namun karena ia sedang asyik bercerita, ia urungkan niat menanyakan perihal mendung yang menggelayut di wajah sang adik.

“Tapi ada juga yang bilang kalau gampoeng kita dinamakan Padang Seurahet, karena ada seorang nenek bernama Seurahet yang tinggal di desa ini pertama kali. Kemudian, setelah nenek itu meninggal dinamakanlah Padang Seurahet,” ujar Khaidir sambil melihat wajah sang adik.

Ibu mereka telah terlelap. Maneh masih merengut.

“Kenapa Maneh? Sudah tak suka dengan cerita Abang?” tanyanya.

“Suka, tapi Maneh mau tiup lilin seperti Mariani,”

“Oh, Mariani anak Pak Agus tempat Ibu menggosok ya?”

Pertanyaan itu hanya dibalas anggukan dan tatapan nanar dari mata bening Maneh.

“Ya sudah, nanti kita beli lilin,”

“Tapi ada kuenya juga,” rengek Maneh.

“Kue coklat yang besar,” mata Maneh berbinar membayangkan kue lezat itu.

“Abang janji akan membelikan Maneh kue dan lilin, tapi sekarang tidur dulu,” rayu Khaidir.

Waktu berjalan lambat, namun purnama akhirnya menyapa. Anak-anak Padang Seurahet berlarian di bibir pantai, ditemani api unggun yang dibuat oleh Ayah mereka. Begitu pula Maneh dan Khaidir. Namun jika bulan sedang malu-malu dan tidak menampakkan wujudnya, mereka seringkali bermain bersama kunang-kunang yang selalu bertandang ke gampong itu.

Sudah seminggu sejak Maneh merajuk ingin kue dan lilin seperti milik Mariani. Khaidir masih melihat adiknya sering merengut. Ia tahu pasalnya, sebab kue dan lilin belum mampu ia beli. Namun Khaidir berjanji dalam hati kalau ia akan memenuhi keinginan sang adik. Pernah ia minta pada Bapak, namun lelaki berkulit gelap itu menolak permintaan Khaidir.

“Jangan kamu ikut perayaan orang, lagi pula kita tidak punya uang,” ujar sang Ayah.

Sedangkan Ibunya, sibuk dengan pekerjaan rumah dan pekerjaan-pekerjaan berat lainnya. Terlihat acuh ketika Khaidir mengutarakan keinginannya agar membelikan lilin dan kue untuk Maneh. Malam itu, saat mereka berkumpul di rumah, udara terasa menyengat. Beberapa kali Maneh mengigau dalam tidurnya. Bapak hanya memakai sarung dan bertelanjang dada. Sang ibu memilih daster tipis yang sudah penuh tambalan.

Malam itu, Khaidir berada ditempat yang sama seperti 13 tahun lalu. Malam yang sama saat ia ingin membelikan Maneh kue dan lilin. Saat lidah ombak yang telah menemaninya sejak lahir berkhianat untuk pertama kalinya. Saat tanah tempatnya berpijak berguncang dan membawa ombak menghancurkan kampungnya. Menerjang Negerinya. Membawa hampir seluruh penduduk Gampoeng Padang Seurahet. Termasuk Ibu, Bapak dan Maneh.

Ombak tak hanya membawa keluarganya, tetapi juga Padang Seurahet. Tidak ada lagi tanah tempat rumah-rumah didirikan. Semua hilang ditelan ombak yang murka 13 tahun silam. Kini Padang Seurahet menjadi desa yang hilang.

Beberapa penduduknya yang selamat, telah membangun asa di tempat baru, termasuk dirinya. Keajaiban membuatnya masih bisa menatap laut pekat malam itu. Bermain bersama kunang-kunang dan menikmati aroma rindu sekaligus luka. Siang tadi peringatan 13 tahun tsunami diadakan di bekas Desa Padang Seurahet. Para pejabat datang, semuanya larut dalam doa.

“Maneh, sekarang setiap tahun ada perayaan untukmu. Bukan dengan lilin dan kue, melainkan doa-doa indah dari seluruh negeri,” gumam Khaidir sambil berlalu dari bibir pantai. ***

 

* Penulis adalah Mentor Basajan Creative School (BCS).

 

EDITOR: JUNAIDI MULIENG

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.