Sweater Putih Tulang

oleh -82 views
Sweater Putih Tulang
ILUSTRASI: BASAJAN.NET/JM/AI

Oleh: Muhammad Noza*

BASAJAN.NET- ‘‘Selamat ulang tahun anak pungut,’’Gantira menyodorkan sebuah kotak dengan senyum hangat.

‘‘Anak pungut-anak pungut, nanti dipungut beneran sama orang baru tau.’’ keluh Anja sambil membuka kotak itu perlahan.

Anja langsung tertegun saat melihat sweater putih tulang pemberian Gantira.

“Serius warna ini Bang? Abangkan tau warna putih cepat kotor’’ keluh Anja.

“Justru karena itu. Sweater ini istimewa, jangan dipakai sembarangan.’’ Gantira tertawa kecil, mengacak rambut adiknya dan berlalu.

Namun, siapa sangka sweater itu kini menjadi satu-satunya pengingat kehangatan Gantira. Bukan hanya untuk momen spesial, tapi untuk setiap hujan yang menemaninya dalam duka.

Hujan sore itu kembali membasahi Desa Pasir Lhok Aron, persis seperti sore-sore sebelumnya. Sementara di kamar, Anja merapatkan sweater putih tulang yang begitu ia cintai. Sweater pemberian Gantira, Abang semata wayangnya.

Kini, setiap kali hujan turun Anja merasakan kesepian yang merayap di sudut-sudut hatinya dan hanya sweater itu yang sedikit membantu meredakan rindu. Ia mengenakannya sebagai penawar dingin, bukan hanya untuk tubuhnya tapi juga untuk hatinya yang ditinggalkan seorang diri.

Sweater itu menjadi satu-satunya benda yang terasa mampu memeluk Anja dengan kehangatan yang serupa, menjadi teman setianya, pelindung dari dinginnya kenangan. Anja mengenang setiap pelukan yang pernah Gantira berikan, setiap tawa yang menggema di antara mereka berdua.

Kehilangan yang Tak Terucap

ILUSTRASI: BASAJAN.NET/JM/AI

Tidak terasa sudah hampir 40 hari berlalu sejak kepergian Gantira. Kini, Anja tinggal bersama Pak Ngoh dan Mak Ngoh (Paman dan Bibi sebutan adik dari ibu).

Lusa, Mak NgohAnja akan mengadakan kenduri untuk mengenang Gantira. Di Aceh, kenduri seperti ini merupakan tradisi untuk mendoakan dan mengenang yang telah pergi.

Anja duduk dipojokan, menyembunyikan air matanya, sesekali ia memperhatikan kerabat dan tetangga yang datang untuk sekedar membantu dan mendoakan.

Ditengah kerabat dan tetangga yang hadir, Anja menangkap kehadiran Pak Saleh, dosen wali sekaligus pembina komunitas Sigeupai Sinema. Komunitas dimana Anja menghabiskan waktu untuk mengasah diri dan memperkuat keterampilannya di bidang audio visual.

Kehadiran Pak Saleh memberikan nuansa otoritas sekaligus motivasi dalam perjalanan Anja mengejar cita-cita.

“Anja, sudah dapat kabarkan dari panitia film?” tanya Pak Saleh membuka obrolan.

“Tapi, Pak, besok kenduri 40 hari Abang” ucap Anja dengan suara lirih,

“Anja nggak bisa meninggalkan rumah, apalagi dalam kondisi seperti ini.” ujar Anja sembari menahan tangis.

“Gantira pasti ingin kamu melanjutkan apa yang sudah kamu mulai. Ini juga untuk dia kan? Buktikan kamu bisa membuatnya bangga.” ucap Pak Saleh memotivasi Anja.

Anja terdiam. Pak Saleh benar, kompetisi ini bukan hanya tentang film dokumenter. Tapi dedikasi Anja untuk Gantira.

Setelah diskusi panjang, Pak Ngoh dan Mak Ngoh memberikan izin.

“Gantira juga pasti akan setuju, Dia selalu bangga padamu, Anja. Jangan sedih, kita yang akan urus kendurinya.” ujar Pak Ngoh.

“Gantira pasti akan bangga melihatmu berprestasi, Anja. Jangan biarkan kesempatan ini lewat.” ujar Mak Ngoh sembari memeluk Anja.

Mereka tahu betapa Gantira selalu mendorong Anja untuk bermimpi besar, dan mengikuti kompetisi ini adalah salah satu cara membuktikan dedikasi pada cita-citanya. Selain itu, mereka berharap Anja tidak terlalu larut dalam kesedihan.

Anja paham bahwa kepergian Gantira takkan tergantikan, namun mungkin kompetisi ini adalah kesempatan baginya untuk melangkah maju.

Tanpa berpikir lama, Anja meraih sweater putih tulang yang ia simpan rapi dan memutuskan untuk berangkat ke Banda Aceh. Sweater itu seperti tameng yang melindunginya, seperti tangan Gantira yang memeluknya erat.

Tidak terasa, hampir setengah bulan Anja di Banda Aceh, larut dalam kompetisi. Fokusnya terpecah antara merangkai audio visual untuk film dokumenter perdananya dan menahan rindu yang semakin hari semakin pekat.

Hari pengumuman pemenang pun tiba. Dengan hati berdebar, Anja mendengar namanya disebut sebagai salah satu sutradara terbaik. Karyanya yang mengangkat kisah menyentuh tentang perjuangan anak-anak penderita bibir sumbing berhasil memikat hati para juri dan mengukir prestasi yang membanggakan. Ide cerita yang sarat empati dan harapan itu menjadi bukti dedikasi Anja dalam dunia dokumenter.

Namun, di sisi lain kebahagiaan Anja terasa tidak lengkap. Kemenangan ini terasa kurang tanpa kehadiran Gantira. Andai waktu itu Anja tidak merengek ingin pergi ke toko buku bersama Gantira, mungkin abang semata wayangnya masih ada di sini.

Hujan Tanpa Sweater

ILUSTRASI: BASAJAN.NET/JM/AI

Anja meraba sweater putih kesayangannya. Tapi sweater itu tak ada. Anja baru menyadari saat ia kembali ke rumah, di tengah badai hujan yang menyambut kepulangannya.

“Di mana sweater itu?” Anja panik mencari ke sana kemari, tapi tak menemukannya.

Ia mencari ke seluruh penjuru tas, namun sweater itu lenyap. Rasa kehilangan yang menggigit dadanya kembali hadir, kali ini lebih kuat.

Anja benci hujan. Ia benci kehilangan dan yang paling ia benci adalah Gantira, yang meninggalkannya sendiri di dunia ini. Gantira yang harusnya selalu ada.

“Andai aku tidak merengek minta ke toko buku hari itu, pasti kamu masih di sini Bang. Merayakan kemenanganku bersama,” dadanya terasa perih, pedih menahan luka.

Kenangan itu berputar lagi di benak Anja. Hari kecelakaan itu, Gantira sebenarnya ingin menunda kepergian mereka, namun Anja yang memaksa.

“Ah, andai saja waktu dapat diputar kembali,” lirih bibir Anja.

Di tengah segala kehilangan, Anja tahu ia harus belajar melepaskan. Sweater putih tulang itu mungkin hilang, tapi kenangan dan cinta Gantira akan selalu ada di dalam hatinya.

“Maafkan aku, Bang,” bisiknya lirih, saat tetes air mata mengalir bersama hujan di luar sana.

Hujan terus turun menemani Anja dalam sepi, ia benci dingin yang terasa lebih tajam menusuk kulit dan hatinya. Untuk pertama kalinya sejak Gantira meninggal, Anja merasa benar-benar kehilangan. Kehilangan sweater itu seperti kehilangan Gantira sekali lagi.

“Mungkin sweater itu juga harus pergi bersamanya. Tapi Gantira tidak pernah hilang dari hati kamu, Anja. Dia akan selalu ada di setiap langkahmu.” Ujar Pak Ngoh sembari memberi Anja selimut sebagai ganti sweater itu.[]

* Penulis adalah Mentor Basajan Creative School (BCS), saat ini sedang menempuh Pendidikan Magister di Universitas Padjadjaran. Email: muhammadnozaabdullah@gmail.com, IG: jha_mohammad

==================

EDITOR: MELLYAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.