Oleh: Muhammad Noza*
BASAJAN.NET- Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illallah, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd.
Takbir menggema dari segala penjuru. mengalun syahdu di langit Jatinangor.
Anja memejamkan mata sejenak, meresapi alunan takbir yang menggema. Suara itu membawanya pulang ke kampung halaman, pada suara lembut ibu yang selalu membangunkannya dengan penuh kasih, pada aroma kuah opor yang menyeruak dari dapur, pada ayah yang duduk tenang dengan secangkir kopi hitam kesukaannya, dan pada Gantira yang dengan sabar mengajarinya cara memakai sarung dengan benar.
Kini, semua itu hanya tinggal kenangan, Anja hanya seorang diri di tanah rantau.
Pagi itu, Anja melangkah gontai menuju masjid kecil di dekat kosnya, seorang diri. Di sekelilingnya, orang-orang bergegas dengan wajah sumringah, mengenakan pakaian terbaik, bercengkerama dengan sanak saudara. Sementara Anja, hanya berbalut kemeja putih sederhana dan sarung yang sedikit kusut.
Di tanah perantauan ini, tak ada tangan ibu yang membelai lembut kepalanya, tak ada pelukan hangat ayah yang dulu selalu menyambutnya, dan tak ada Gantira yang usil tapi selalu menyanginya. Semuanya telah menjadi kenangan yang hanya bisa Anja peluk lewat ingatan.
Selepas salat, Anja pulang dengan langkah lunglai. Tak ada undangan makan bersama, tak ada suara riuh keluarga yang menanyakan kapan ia menikah, kapan wisuda, atau kapan dapat kerja dan lain-lain. Hanya sepi yang menyambut di kamar kostnya yang kecil.
Anja menanggalkan kemejanya, menggantinya dengan kaos biasa, lalu merebahkan diri di kasur. Matanya menatap langit-langit, tapi pikirannya melayang jauh.
Seperti Pulang
Saat sedang tenggelam dalam memori bersama keluarganya dulu, perut Anja mulai keroncongan. Namun, yang tersisa hanya mie instan. Anja menghela napas, menyadari bahwa tak ada pilihan lain.
Diliriknya meja kecil di sudut kamar. Di atasnya, ada bingkai foto usang. Wajah Gantira, tersenyum di sana, diapit oleh wajah kedua orang tua mereka. Anja menghela napas panjang, jari-jarinya mengusap perlahan kaca foto itu.
“Selamat lebaran ayah, bunda, dan abang,” bisik Anja lirih.
Dengan enggan, Anja bangkit, memasak air lalu menyeduh mie dengan perasaan hampa. Sendok pertama masuk ke mulutnya, hambar. Bukan karena rasanya, tapi karena tak ada kehangatan rumah yang biasanya melingkupi setiap suapan di hari istimewa ini.
Tak ada opor, tak ada lontong sayur. Hanya sebungkus mie instan yang bahkan enggan ia sentuh.
“Apa enaknya makan mie di hari raya?” keluh Anja. Tapi hidup tetap harus berjalan. Tiba-tiba sebuah notifikasi WA masuk.
“Anja, kamu mudik gak? Sini main ke Cimahi, kebetulan Teteh masak banyak, ada lontong sayur, rendang, dan ketupat.” Lengkap dengan beberapa photo yang dikirim Teh Niken, teman sekelas Anja di kampus.
Anja terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. Mungkin, lebaran kali ini tidak akan sesunyi yang ia bayangkan.
Tanpa pikir panjang, Anja segera berganti pakaian, mengenakan kemeja rapi dan celana panjang. Lalu bergegas ke halte teman bus yang ada di UNPAD.
Saat tiba di rumah Teh Niken, aroma masakan khas lebaran menyambut Anja. Teh Niken tersenyum lebar, menariknya masuk ke rumah yang penuh dengan kehangatan. Anja duduk di antara keluarga yang bukan darah dagingnya, tapi rasanya seperti pulang. Suara tawa, kehangatan, dan obrolan ringan mengisi kekosongan di hatinya.
Lebaran kali ini mungkin berbeda, tapi tidak sepenuhnya sepi.(*)
====================
* Penulis adalah Mentor Basajan Creative School (BCS), saat ini sedang menempuh Pendidikan Magister di Universitas Padjadjaran. Email:muhammadnozaabdullah@gmail.com, IG: jha_mohammad.