Hari Terakhir Bersama Cut Nyak

oleh -199 views
Hari Terakhir Bersama Cut Nyak

Oleh: Mellyan*

BASAJAN.NET- Sabtu, 25 Desember 2004, siang itu cukup terik. di bilangan Tentara Pelajar Peunayong Banda Aceh, seorang gadis berjilbab biru sedang sibuk merayu adik sepupunya menginap di rumah malam itu. Mata gadis cantik itu berbinar melihat kedatangan adik sepupunya yang baru berusia 17 tahun.

“Ayolah Dek, nginap di sini malam ini,” ujar gadis bermata coklat terang itu sambil memegang tangan adiknya.

“Iya, memang mau nginap di sini,” jawab gadis 17 tahun itu polos. Matanya melihat kesibukan kota Banda Aceh. Banyak sekali mobil hilir mudik. Udara panas membuat gerah, kerongkongannya terasa sakit. Kota ini begitu panas dan berdebu.

“Panas ya Dek, ayo Cut Nyak belikan minun,” dengan cepat gadis bermata coklat terang itu bergegas membeli minuman dingin dan kudapan.

Keduanya larut dalam cerita, adiknya baru beberapa minggu di Banda Aceh. Sedang mempersiapkan diri tes masuk universitas impiannya.

“Gimana tesnya? Udah siap jadi mahasiswa?” candanya.

“Tesnya aman, insyaAllah,” jawab sang Adik.  

“Eh tapi hebat ya Adek udah tahu jalan ke sini,”

“Ya kan tinggal naik Labi-labi aja, bilang ke Peunayong,” ujar sang Adik. Walaupun dalam hatinya gengsi untuk kasih tahu kakaknya kalau dirinya masih bingung, belum tau jalan-jalan di Kota ini, tahunya cuma tempat Bimbel (Bimbingan Belajar) di Lampriet, kampus dan peunayong.

Siang itu, sang kakak menceritakan ada seorang laki-laki yang sedang dekat dengannya, sepertinya laki-laki itu serius.

“Mungkin tahun depan dia mau lamar Cut Nyak, Dek,”

Gadis 17 Tahun itu hanya mengangguk, bingung dengan rencana-rencana orang dewasa. Pernikahan masih jauh dari pikirannya, ia ingin melanjutkan kuliah S1, lanjut S2 lalu bekerja dan menikah. Tapi bagi sang Kakak di usianya yang ke-25, pernikahan menjadi impian baginya.

“Tahun depan, bulan depan dong,” jawab sang Adik tiba-tiba.

“Ya enggak secepat itu juga,” jawab sang Kakak sambil menggelitik pinggang adiknya.

Isyarat Hati

ILUSTRASI: BASAJAN.NET/AI

Kedua gadis itu terus bercanda, bercerita, tentang cinta dan cita-cita. Tak terasa sore menjelang, hampir pukul 18.00 wib. Tiba-tiba sang Adik berdiri dan minta izin kembali ke kosnya di Kampong Keuramat.

Sebenarnya, seminggu pertama kedatangannya dari Meulaboh, sebuah kota kecil di pesisir Barat Aceh, gadis itu memang tinggal bersama Kakaknya di ruko Peunayong. Namun karena pertimbangan jarak yang cukup jauh, mengurus tes kuliah dan Bimbel, akhirnya ia memutuskan tinggal di kost bersama sepupu yang lain di Kampong Keuramat. Tapi hampir setiap hari ia selalu datang menjumpai Kakaknya. Begitu juga siang itu, masih sama seperti hari-hari sebelumnya.

Sore itu seperti ada yang mengusik hatinya, tiba-tiba saja gadis 17 tahun itu pamit, minta izin kembali ke kost. Wajahnya tiba-tiba terasa kaku, hatinya kelu, ia tak ingin menginap di ruko malam itu. Sesuatu di hatinya berbisik aneh.

“Cut Nyak, Adek pulang ke kost ya,” Sang Kakak hanya diam tak menjawab sepatah kata pun. Ia tahu mungkin Kakaknya kecewa, tapi hati dan kaki gadis itu terus memerintahkannya pergi dari situ.

Dengan langkah berat, ia menyeret kakinya, menyetop labi-labi, lalu pergi. Dari balik kaca mobil, ia melihat Kakaknya berdiri kebingungan melihat kepergiannya. Ujung jilbab birunya meliuk ditiup angin kering akhir tahun itu.

Biasanya, pukul 18.00 wib sudah tidak ada kendaraan umum. Tapi sore itu entah kenapa, dengan mudah ada mobil yang lewat dan membawa gadis muda itu berlalu menjauh dari Peunayong.

Gadis 17 tahun itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya, seperti sakit yang teramat sangat, namun bukan karena luka. Tapi apa? dia sendiri bingung. Ia bingung pada hati dan tubuhnya yang sore itu bertindak aneh, seperti tidak mendengarkan pikirannya. Perasaan, hati dan pikirannya berjalan di jalan berlainan hari itu.

Ia sangat ingin menginap bersama Cut Nyak, apalagi besok hari Minggu. Mereka bisa ke Lampuuk atau olahraga di Blang Padang. Rencananya sudah matang mereka bicarakan tadi. Tapi hati dan tubuhnya bergerak tak terkontrol, menyeretnya pergi dari Peunayong, pulang ke kostnya di Kampong Keuramat.

Malam itu, ia mencoba tidur, tapi sakit di dadanya masih terasa. Sesekali ia pegang dadanya. Ia mencoba memejamkan mata, tapi bayangan sang Kakak dengan jilbab biru dan tiba-tiba wajah cantik itu berubah pucat, gambaran itu terus mengganggunya.

Hingga tengah malam, matanya masih menatap plafon. Pagi hari, setelah shalat subuh, ia menghirup udara dingin nan segar, sebelum berganti panas menyengat. Menikmati cicit burung sambil menghalau sakit yang masih terasa di dadanya.

Ia membuka ponselnya dan menemukan pesan Sang Kakak.

“Dek, kok aneh, main pergi aja. Katanya mau nginap sama Cut Nyak,” pesan itu dikirim tengah malam. Tapi semalam, ia tak membuka hapenya sama sekali.

Rasa bersalah kembali mengganggunya. Bagaimana membalas pesan itu, karena ia juga bingung dengan perasaannya. Ia sangat teramat ingin tidur di rumah Kakaknya malam itu. Tapi tubuh dan hatinya bertingkah aneh. Tidak mau mendengar pikirannya.

“Iya Cut Nyak, sebentar lagi Adek ke situ ya, kita ke laut atau ke Blang Padang seperti rencana kemarin,” jawabnya.

Kiamat Datang Tiba-tiba

ILUSTRASI: BASAJAN.NET/AI

Gadis itu masuk ke kamar, menghidupkan televisi, banyak acara favorit masa kecilnya tayang hari Minggu. Ia merebahkan diri di kasur, pukul 07.30, matanya terasa berat, remot di tangannya jatuh, ia terlelap.

Dalam mimpi ia mendengar ada yang menggedor pintu kamarnya, bukan Ayah atau Nyanyak (Ibu) nya, bukan juga Cut Nyak. Tubuhnya terhuyung, ternyata ia bukan sedang bermimpi, teman satu kostnya menggedor kamarnya. Hari itu aneh sekali, dunia nyata dan mimpi seolah menyatu dalam pikirannya.

“Gempa! Gempa! Keluar!” teriak temannya.

Dengan cepat gadis itu menyambar jilbab di sudut kasur dan berlari ke lantai bawah. Di belakangnya, rak bunga besar milik ibu kos jatuh, suaranya meninggalkan ngeri.

Gubrak Prak…

Ia kaget melihat sepajang jalan di lorong itu orang-orang duduk menangis sambil menyebut nama Allah.

Lailahailallah…laillahailallah…lailahaillah, ucapan itu menggema menggetarkan langit pagi itu.

Ia masih kebingungan, ia masih kaget dengan keadaan. Ikut duduk karena getaran gempa yang teramat sangat kuat. Orang-orang yang masih berdiri atau di kendaraan, ikut keluar dan duduk di jalan. Tangisan, bunyi bangunan ambruk, lafazh tauhid menggema di setiap sudut. Orang-orang larut dalam kepanikan. Gadis itu teringat Ayah, Ibu dan Adik-adiknya di Meulaboh sana.

“Apakah di sana juga gempa?” batinnya.

Lima belas menit kemudian, orang-orang mulai berteriak-teriak.

“Air laut naik, air laut naik..!”

Orang-orang panik, gadis itu berdiri dari duduknya. Naik ke lantai dua kamarnya.

Gadis itu dalam kepanikan mengambil beberapa baju, jaket, pakain dalam, kain sarung dan kain panjang, kudapan, air minum, jelbab, mukena dan alquran, memasukkannya dalam tas ransel. Ia juga sempat mengganti baju lengan pendeknya dengan baju dan celana panjang. Tak lupa ia mengambil telepon genggamnya dan menelpon sang Kakak. Ia berencana menumpang labi-labi ke Peunayong.

Ia selalu ingat pesan Ibu, “kain sarung dan kain panjang itu selalu berguna, entah nanti sakit,” pesan itu menggema di kepalanya.  

“Kemana?” tanya kawan kostnya.

“Mau ke Peunayong,”

“Kayaknya enggak usah ke sana, kita ke arah Simpang Surabaya aja, jauh dari laut,” saran temannya. Gadis itu belum tahu di mana arah laut. Saat itu yang ada dalam pikirannya adalah Cut Nyak. Ia ingin segera bertemu kakaknya.

Berkali-kali ia menghubungi nomor sang kakak, tapi nihil, nomor itu tak tersambung.

Dari lantai satu orang-orang terus berteriak, menangis sambil berlari. Beberapa dari arah laut terlihat kuyup dan terluka.

“Ayo lari, ayo lari..!” anak kost yang berencana bertahan di lantai dua ikut turun, termasuk gadis itu, mereka ikut berlari, tapi tak tahu tujuan.

Di Simpang Jamboe Tape, orang orang berlari dari kota ke Darussalam dan sebaliknya, dari Simpang Surabaya ke Jambo Tape dan sebaliknya. Terjadi kemacetan luar biasa, polisi yang bertugas hari itu terlihat panik dan kebingungan. Teriakan, makian, klakson yang tiada henti, sirine, tangisan, orang-orang yang berlarian. Semuanya kucar kacir, seakan kiamat datang hari itu.

Gadis itu bertanya pada polisi yang membantu ia dan teman-teman kosnya menyeberang.

“Air laut apa pak? Kami lari kemana?” tanya gadis itu dengan wajah pias.

“Enggak tau Nak, lari saja ke sana, jauh dari laut” tunjuknya ke arah Simpang Surabaya.

Menanti Kabar Cut Nyak

ILUSTRASI: BASAJAN.NET/AI

Delapan gadis itu terus berlari, sesekali melihat ke belakang apakah benar air laut sampai sejauh itu masuk ke kota. Di Jembatan Beurawe, mereka berhenti sejenak, melihat orang-orang yang terseret arus. Tak tahu harus berbuat apa, mereka kembali berjalan, setidaknya kalau jembatan itu putus mereka telah melewatinya. Begitu pikir mereka saat itu.

Mereka terus berlari, tapi gadis 17 tahun itu masih mencoba mneghubungi sang kakak.

“Saya mau ke Peunayong saja,”

“Emang tahu jalannya?” tanya kakak kosnya.

Gadis itu terdiam, ia hanya bisa ke Peunayong dengan memberitahu sopir labi-labi, kalau pergi sendiri ia tak tahu jalan. Tapi hari itu, ia sangat amat tahu tak ada kendaraan yang bisa membawanya ke Peunayong.

Tiba-tiba saat mereka sudah di Simpang Surabaya, orang-orang berteriak kembali.

“Lari, lari! Air laut naik! Air laut naik!”

Mereka kembali berlari hingga ke Lueng Bata dan berteduh di masjid di daerah itu. 

“Setidaknya kalau kita meninggal, meninggalnya di masjid,” ujar salah satu kawannya. Mereka berteduh di bagian teras masjid, penuh keringat, air mata dan perut keroncongan. Tidak ada makanan yang masuk dari pagi. Beruntung mereka punya air minum sebotol yang dibagi delapan. Diminum bergantian.

Semakin sore, angin bertiup amat kencang, dahan-dahan pepohonan patah. Seorang Ibu berteriak dengan rambut tergerai, tubuhnya hitam penuh lumpur, pakaiannya robek di sana sini,

Aneuk lon gadoh, aneuk lon gadoh…aaaaaaaaa ya Allah!” teriaknya menyayat hati.

Angin membawa tangisan itu, gerimis tiba-tiba datang mencoba membasuh luka yang sebenarnya tak akan pernah benar-benar sembuh. Angin kencang membuat delapan gadis itu berpegangan pada tiang masjid.

“Jika memang harus meninggalkan dunia ini, setidaknya kita sudah shalat zuhur tadi dan meninggal di masjid,” begitu keyakinan gadis-gadis itu.

“Cut Nyak, bagaimana kabarnya ya Allah,” batin gadis itu kelu.

Angin kencang, langit menggelap, hujan semakin deras. Mayat-mayat dan orang-orang yang terluka terus berdatangan. Saat hendak shalat ashar, para perempuan muda itu terkaget karena menginjak cairan kental di kaki mereka. Ternyata masjid itu di bagian depan sisi kanan penuh darah. Orang-orang yang terluka dan sebagian meninggal dibaringkan di sana. Mereka keluar membasuh kaki dari darah. Air mata kembali luruh. Suasana masjid berubah seperti rumah sakit yang penuh dengan pasien yang tak tertampung. Mereka ditidurkan begitu saja di lantai.

Seorang Bapak dari Peunayong menangis di sudut masjid, ke delapan gadis itu tiba-tiba mencoba membantu siapa saja yang butuh bantuan mereka.

“Saya punya anak sebesar kamu, ia hilang,” ujar bapak itu sambil menangis, bahunya terluka. Gadis itu memberikan kain sarung yang ia bawa dari kos. Mencoba menutup darah yang terus mengalir dari bahu itu.

“Bapak tinggal dimana?”

“Peunayong,” jawab bapak berkulit hitam itu.

“Peunayong? Bagaimana Peunayong pak?” tanya gadis itu cepat. Ia sangat menghawatirkan Cut Nyak.

“Habis, habis nak, rata, mayat di mana-mana,” mata lelaki itu menerawang.

Gadis itu dengan tangan gemetar masih mencoba menutup luka dengan kain sarung, mengikatnya dan berlalu dari sana. Ia menepi di sudut masjid, mencoba berkeluh kesah, menangis, bertanya pada sang pencipta apa yang sedang terjadi.

Malam hari itu, gempa terus berulang, sesekali kencang, sesekali hanya goyangan kecil. Mereka tidur beratapkan rembulan malam itu, sampai hari kedua setelah tragedi, ia belum benar-benar tahu apa yang sedang terjadi. Separah apa? sejauh apa? hatinya rapuh dan limbung. Belum ada kabar dari Cut Nyak. Apalagi kabar dari Meulaboh…[] bersambung

* Penulis adalah mentor dan editor Basajan, saat ini aktif sebagai dosen di STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh.

=======================

EDITOR: JUNAIDI MULIENG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.