Senja di Ujung Jalan

oleh -324 views
Senja di Ujung Jalan
ILUSTRASI: BASAJAN.NET/JM/ADOBE

Oleh: Muhammad Noza*

BASAJAN.NET- Di teras Fakultas Ilmu Komunikasi, di bawah langit petang yang membara, Anja duduk memandang jalan sambil menunggu odong-odong fakultas menjemput. Angin sore menyapa lembut rambut ikalnya, mengingatkan mimpi dan tujuannya melanjutkan pendidikan di kampus ini.

Anja (25) merupakan salah satu mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Menunggu odong-odong melintas, sudah menjadi rutinitasnya setiap sore Senin dan Rabu selepas kelas.

Setiap sudut kampus, bangunan fakultas dan pohon rindang, mengingatkan Anja pada abangnya Gantira, yang meninggal 2017 silam.

“Sekolah yang rajin, abang mau lihat Anja pakai baju toga, pasti kelihatan gagah dan keren.” Ujar Gantira 7 tahun lalu.

Gantira bukan sekedar abang, tapi ia pengganti ayah untuk Anja sedari kecil. Mereka saling mengandalkan dan mendukung satu sama lain. Gantira hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama. Ia mengubur mimpinya untuk tidak melanjutkan sekolah karena terkendala ekonomi. Ia mengabdikan diri menjadi tulang punggung untuk adik semata wayangnya, Anja.

Suatu sore di hari Sabtu, Gantira pulang dengan wajah lelah namun bahagia. “Ja, lihat apa yang abang bawa!” serunya sambil mengangkat sebuah tas berisi laptop.

Anja yang sedang menyuci sepatu di kamar mandi langsung bangkit dan lari mendekat. “Wah, laptop! Abang beli laptop untuk Anja? tapi inikan mahal bang? duit dari mana?”

Gantira tersenyum sambil membuka isi tas di meja makan. “Sudah, jangan banyak tanya, kamu harus belajar yang rajin ya, abang mau kamu berpendidikan dan sukses.”

Mata Anja berkaca-kaca mendengarkan nasihat abangnya. “Aku janji, aku akan belajar dengan sungguh-sungguh, terimakasih abang,” ucap Anja penuh haru.

Sinar Senja yang Hilang

Dari ujung Fakultas Ekonomi, suara motor tua terdengar nyaring mendekat, Gantira melaju dengan motor butut kesayangannya.

“Abang dari mana aja, ini udah telat dua jam tau, toko bukunya udah tutup kalau jam segini,” ucap Anja kesal, sambil menerima helm dari abangnya.

“Maaf Ja, namanya juga motor tua, mogok kaya biasa,” seru Gantira.

Sore itu, Gantira sudah berjanji akan menjemput Anja dari kampus dan membawa sang adik pergi ke toko buku untuk merayakan ulang tahun Anja ke-18. Siapa sangka, waktu berjalan dengan cepat. Anja yang dulu kecil kini sudah menjadi mahasiswa semester tiga, Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi terbaik di Aceh dengan beasiswa Bidikmisi.

Motor Gantira melaju dengan kecepatan sedang, sambil sekali-kali ia bercengkrama dengan adiknya. Mereka berdua tampak semangat, apalagi Anja yang sudah tidak sabar untuk mengunjungi toko buku langganannya di pinggiran kota.

Jalanan tampak lenggang, Gantira juga selalu berhati-hati dalam berkendara, namun sore itu, takdir berkata lain. Di simpang Jalan Merdeka, sebuah motor Yamaha Vixoin melaju dengan kecepatan tinggi dan menerebos lampu merah. Gantira yang terkejut mencoba menghindar, namun ia kehilangan kendali.

Segalanya terjadi begitu cepat. Suara benturan keras, motor terpelanting dan tubuh Gantira yang membentur pembatas jalan, tergeletak tak sadarkan diri dengan luka parah di kepala dan kakinya. Anja terlempar beberapa meter, namun masih tersadar. Melihat abangnya terluka parah, Anja segera berlari menghampiri tubuh abangnya yang sudah tidak berdaya.

“Abang, bangun abang!” teriak Anja beberapa kali sambil memeluk tubuh abangnya. Gantira tidak merespon. Senja yang harusnya indah seketika berubah menjadi kelabu.

Beberapa pengendara yang berada di tempat kejadian langsung membantu. Gantira dibawa ke rumah sakit terdekat dalam keadaan kritis. Namun nyawanya tidak dapat diselamatkan. Gantira menghembuskan nafas terakhirnya dalam perjalanan menuju rumah sakit. Senja itu, meninggalkan luka mendalam bagi Anja.

Penghujung Senja

Hari-hari berlalu, Anja yang dulunya periang, kini sering terlihat murung dan menyedihkan. Setelah kepergian ayah dan bunda dalam kecelakaan tunggal, kini Anja harus menerima kenyataan, jika sang abang juga mengalami nasib tragis yang sama. Kini, tinggal Anja seorang diri.

Di bawah langit petang membara, suara klakson odong-odong membuyarkan lamunan Anja. Langit merah jingga perlahan menyelimuti Jatinangor. Anja berdiri, meninggalkan teras fakultas. Setelah mendapat tempat duduk, Anja menutup matanya, merasakan kehadiran Gantira disetiap hembusan angin sore itu.

Odong-odong membelah kesunyian jalanan Unpad. Air mata perlahan mengaliri pipi Anja. Rasa kehilangan dan luka dihatinya mungkin tak akan pernah sembuh, tapi cinta dan kasih sayang yang Gantira berikan akan selalu menjadi sumber kekuatan bagi Anja dalam melanjutkan hidup.

“Terima kasih, abang,” bisiknya pelan.

“Terimakasih untuk segalanya, Anja sayang abang.”(*)

* Penulis adalah Mentor Basajan Creative School (BCS), saat ini sedang menempuh Pendidikan Magister di Universitas Padjadjaran. Email: muhammadnozaabdullah@gmail.com, IG: jha_mohammad

================================

EDITOR: JUNAIDI MULIENG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.