Oleh: Junaidi*
BASAJAN.NET- Tahukah kalian, ketika kemerdekaan yang setiap tahun diperingati dengan gegap gempita dan sorak-sorai kemeriahan, ada satu hal di negeri ini yang sudah lama merdeka?
Kopi! Ya, kopi, minuman yang dapat mengubah zombie di pagi hari menjadi manusia seutuhnya. Minuman hitam pekat dan pahit melekat, yang ironisnya, bisa menyatukan lebih banyak orang daripada sekadar pidato tentang nasionalisme.
Tapi bagaimana sebenarnya hubungan kopi dan kemerdekaan? Apa betul dibalik kesederhanaannya kopi dan kemerdekaan punya kaitan erat? Atau jangan-jangan, kita hanya terbuai dalam aroma robusta dan arabika, hingga lupa apa arti kemerdekaan itu sendiri?
Kopi Simbol Perjuangan
Konon katanya, acap kali kopi hitam menjadi saksi bisu di banyak meja perundingan saat para pendiri bangsa merumuskan konsep kemerdekaan. Entahlah, saya belum pernah melihat arsip yang membuktikan apakah Bung Karno lebih suka kopi tubruk atau kopi susu.
Begitu juga dengan Teuku Umar yang terkenal dengan semboyan “singoh beungoh tanyoe tajep kupi di keude Meulaboh, atawa lon syahid”. Apakah beliau lebih suka kopi robusta dengan gelas terbalik atau arabika yang katanya lebih aman di lambung ketika menyusun strategi untuk melawan kaphe Belanda.
Coba bayangkan, seandainya rapat-rapat kala itu hanya ditemani air putih. Akankah hasilnya berbeda? Mungkin iya, mungkin tidak. Tapi yang jelas, kopi akhirnya terlanjur diangkat jadi simbol perjuangan. Namun, pertanyaan yang lebih penting apakah kita memperjuangkan simbol atau substansi perjuangan itu sendiri?
Pahitnya Kopi Metafora Perjuangan yang Indah
Mungkin kalian pernah mendengar, ungkapan sebagian orang yang mengumpamakan hidup seperti kopi: pahit, tapi nikmat. Meski terdengar klise, tetap saja banyak yang tersenyum setuju tanpa benar-benar merasakannya.
Tapi coba dipikir lagi, apakah hidup yang merdeka harus selalu pahit? Barangkali kita sudah terlalu terbiasa menerima “kepahitan” sebagai bagian dari perjuangan, sehingga lupa bahwa setelah perjuangan seharusnya ada manis yang layak kita nikmati.
Atau, jangan-jangan, kita sudah terlalu akrab dengan rasa pahit, sehingga menjadi asing dengan manisnya kehidupan?
Tapi entahlah, saya sendiri kadang masih bingung. Mengapa, misalnya, harga kopi di kafe atau bahasa gaulnya kedai fancy, lebih mahal daripada secangkir kopi di warung pinggir jalan? Apakah rasa pahitnya beda? Atau mungkin ini simbol bahwa kita rela bayar lebih mahal untuk secangkir ilusi kemerdekaan? Seperti ilusi yang sering dijajakan para elit di negeri ini.
Kedai Kopi dan Kemerdekaan Pribadi
Hari ini, di Aceh, kedai kopi tumbuh subur di tiap sudut kota. Menawarkan sejenis kemerdekaan baru—kemerdekaan untuk duduk berlama-lama dengan satu cangkir kopi, seolah waktu adalah milik pribadi.
Di sana, kita merasa “merdeka” dari segala tuntutan, padahal sebenarnya terjebak dalam rutinitas yang sama: skrol media sosial, lihat-lihat feeds orang yang katanya hidup lebih merdeka.
Tapi benarkah ini bentuk kemerdekaan? Atau kita justru terperangkap dalam tren yang membungkus kapitalisme dengan estetika latte art?
Kemerdekaan yang dijanjikan secangkir kopi di kedai premium mungkin lebih kepada kemerdekaan untuk bersembunyi dari kenyataan, dari dunia yang makin absurd, dan dari tanggung jawab hidup.
Siapa pula yang butuh revolusi sosial, kalau bisa merenungi hidup sambil menyeruput kopi beraroma jagung panggang dan biji beras digongseng? Iya kan?
Refleksi di Balik Secangkir Kopi
Kopi dan kemerdekaan ialah dua hal yang bisa saja saling melengkapi, atau bahkan sebaliknya. Kopi adalah seni menyeimbangkan antara pahit dan manis, kemerdekaan adalah seni menyeimbangkan antara hak dan kewajiban.
Namun, jangan lupa, di balik secangkir kopi selalu ada proses panjang. Dari petani yang berkeringat di kebun dengan hidup tak layak, hingga barista yang selalu harus terus tersenyum manis, sambil menahan getirnya masalah hidup.
Di bulan kemerdekaan ini, saat kita menikmati secangkir kopi, mari renungkan: apakah kita benar-benar sudah merdeka? Atau justru masih terjajah oleh definisi kemerdekaan yang terlalu dangkal?
Sebab, mungkin seperti kopi, kemerdekaan sejati adalah sesuatu yang harus kita racik sendiri dengan rasa, cara, dan waktu yang kita pilih, tanpa harus mengikuti tren yang entah datang dari mana.(*)
* Penulis adalah Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh