Oleh: Mellyan*
BASAJAN.NET- Beberapa waktu lalu, di sebuah kenduri kematian, setelah minuman dan kudapan dihidangkan, dimulailah cerita-cerita. Beberapa bertanya penyebab kematian, lainnya bercerita hal lain dan saling menimpali.
Dari banyak perbincangan, saya tertarik mendengar ibu berpakaian serba hitam dengan lipstik merah menyala. Ia bercerita anaknya baru saja lulus SMA dan diterima kuliah di Turki.
“Tapi saya larang, tidak mungkin saya biarkan dia kuliah sejauh itu,” terdengar jelas nada bangga dalam suaranya. Hal yang sangat wajar mengingat prestasi yang diraih sang anak.
Cerita terus berlanjut, ternyata sang anak juga diterima di salah satu kampus di Jakarta. Tapi lagi-lagi ia melarang.
“Tidak usah pergi kuliah jauh-jauh, nanti kalau diangkat jadi pegawai negeri sama saja pangkatnya dengan yang kuliah di Meulaboh sini,” ibu-ibu lain mengangguk-angguk setuju.
“Iya-iya betul itu,” mereka terdengar kasak kusuk.
Mulut saya sudah hampir mengeluarkan suara, ingin sekali ikut menimpali. Tapi logika masih berjalan, itu percakapan ibu-ibu yang usianya dua kali lipat di atas saya, rasanya tidak sopan saya menimpali. Lagipula mereka tidak meminta pendapat, hanya ingin bercerita, dengan ibu berlipstik menyala sebagai pencerita.
Sang anak akhirnya dengan segala keputusasaanya, meminta izin kuliah di Banda Aceh yang jaraknya hanya empat jam perjalanan dari Meulaboh menggunakan kendaraan roda empat.
Saya kira ceritanya berakhir sampai di situ, ternyata benar-benar plot twist. Permintaan itu juga ditolak. Anak itu tidak diizinkan kuliah di Banda Aceh.
“Tidak usah di Banda Aceh, di sini saja dekat rumah sudah ada kampus,” ibu-ibu yang lain lagi-lagi mengangguk.
Korban Ego Orangtua
Saya penasaran dengan reaksi si anak, bagaimana perasaannya, bagaimana mentalnya. Bukankah prestasi itu tidak mungkin ia raih dalam sehari dua hari? Pasti ia telah menyiapkan diri hingga mendapat tawaran kuliah ke luar negeri.
“Itulah ya, dulu saya dan suami yang suruh anak rajin belajar, les sana sini, tapi saya rupanya tidak siap ditinggal,” terdengar penyesalan di ujung suaranya.
“Sayang juga saya lihat dia kurung diri di kamar. Ini sudah berhari-hari dia kurung diri setelah saya menolak permintaan terakhirnya ke Banda Aceh,” sambungnya.
Dari cerita si ibu, anaknya berubah menjadi sangat pendiam, sudah seminggu tidak mau bicara dengan siapa pun. Matanya bengkak seperti habis mengangis. Hanya menjawab sepatah dua patah kata kalau ditanya.
“Ah, tapi biarinlah, yang penting dia tidak pergi. Saya orang tuanya, saya yang pegang kendali atas hidupnya,” celutuk ibu itu sambil meminta persetujuan pada ibu-ibu lain.
Saya mendengar cerita itu dengan seksama. Melihat ke arah si ibu sambil sesekali tersenyum saat mata kami tak sengaja bertatapan.
Kemudian saya melihat ke arah ibu saya. Perempuan yang kini memasuki usia senjanya itu dengan keteguhan hati memberi izin kemana pun anaknya melangkah. Tentunya dengan berbagai syarat agar kami lebih terarah di rantau orang.
Meskipun saya tahu, di lubuk hatinya terdalam, pasti menginginkan kami, anak-anaknya tetap tinggal bersamanya. Tapi ia paham betul, seorang anak seperti anak panah yang harus meluncur untuk mencapai tujuannya. Ia percaya, setelah kami berkelana, pada akhirnya tetap akan pulang ke pelukannya.
Anakmu Bukanlah Anakmu
Saya teringat Kahlil Gibran, dalam bukunya The Prophet yang diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono menjadi Almustafa, menulis esai puitis tentang kehidupan. Salah satunya membahas tentang peran orang tua yang seharusnya menyiapkan masa depan anak.
Esai puitis ini terbit pertama kali pada 1923. Telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa. Puisinya tentang anak, menjadi salah satu yang paling banyak dibaca dan dikutip.
Puisi Kahlil Gibran tentang Anak, dalam Almustafa
Dan, perempuan yang memeluk bayi di dadanya berkata, bicaralah tentang anak-anak.
Dan, katanya:
Anakmu bukanlah anakmu.
Mereka adalah putra putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri.
Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu.
Dan, meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.
…
Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu.
Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri.
Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka.
Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu.
Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi jangan menjadikan mereka seperti kamu.
Sebab, kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin.
…
Kau adalah busur yang meluncurkan anak-anakmu sebagai panah hidup.
Pemanah mengetahui sasaran di jalan yang tidak terhingga, dan Ia melengkungkanmu sekuat tenaga-Nya agar anak panah melesat cepat dan jauh.
Biarlah tubuhmu yang melengkung di tangannya merupakan kegembiraan.
Sebab, seperti cinta-Nya terhadap anak panah yang melesat,
Ia pun mencintai busur yang kuat.
##
Terlahir Darimu, Tapi…
Puisi yang dulu sering saya baca ketika belum menjadi Ibu, menjadi sangat berbeda rasanya ketika saya sudah memiliki prediket prestisius itu “IBU”. Sungguh, ingin rasanya menyanggah beberapa penggalan dari puisi itu, karena cinta dan perasaan saya sebagai Ibu.
Namun ketika menggunakan logika, benar adanya mereka memiliki jiwa dan pemikiran sendiri. Tidak menjadikan anak-anak menjadi seperti kita, tapi harus lebih baik, dengan memberikan didikan terbaik yang kita mampu.
Bahkan, pada bagian “Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu,” awalnya cukup sulit diterima perasaan ibu. Terlebih ketika membayangkan bagaimana beratnya mengandung, pertaruhan nyawa saat melahirkan hingga membesarkan.
Tapi benar adanya, anak-anak memang terlahir dari rahim ibu, namun ia berasal dari-Nya. Bahkan sang ibu pun milik-Nya. Semesta adalah milik-Nya. Lalu apa yang dimiliki ibu? Tak lebih hanya cinta-Nya.
Entahlah, apa yang akan terjadi di masa depan. Apakah saya akan menjadi seperti ibu berlipstik merah menyala atau seperti ibu saya, yang memahami perasaan putra putrinya untuk berkelana sesuai zamannya.
Sebagai ibu muda, saya akan terus berusaha menjadi madrasah terbaik. Mendidik anak sesuai zamannya, tanpa meninggalkan adab dan sopan santun di tengah kecanggihan yang terus menggila. Tentu saja, dengan selalu melingkupinya dengan doa, selamanya. Apapun itu, salam takzim penuh hormat untuk seluruh ibu di dunia.(*)
* Penulis adalah mentor dan editor Basajan, saat ini aktif sebagai dosen di STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh.
===================
EDITOR: JUNAIDI MULIENG