Oleh: Rahmat Trisnamal*
“Bodoh! aku memang bodoh!,” kata seorang remaja yang sedang meratapi nasibnya di perkampungan belantara hutan lindung bagian barat Negara Tungkat Ali.
Remaja itu bernama Budiman (12). Ia bersama neneknya, Jamilah (90) dikucilkan warga Gampong Ukeu Teugah, karena dianggap membawa malapetaka bagi masyarakat. Mereka hidup dalam keadaan sangat miskin.
Budiman yatim piatu sejak lahir. Ayahnya, Leman meninggal dunia saat Budiman masih 7 bulan dalam kandungan Ibunya, Laila. Sedangkan Ibunya, meninggal setelah Budiman lahir ke dunia.
Ia dilahirkan di gubuk reyot yang tak lagi layak huni. Atap dan dindingnya terbuat dari anyaman daun rumbia yang telah lapuk dimakan usia.
Budiman jauh dari sentuhan pendidikan. Ditambah neneknya pun awam ilmu pengetahuan. Namun sang nenek selalu menyemangatinya agar tidak putus asa dan terus berusaha untuk mencapai apa yang diinginkan.
“Nenek yakin, kamu pasti bisa menjadi orang sukses,” ungkap nenek Jamilah saat Budiman merasa dirinya tidak berguna.
Remaja itu pun bergegas mengambil tombak ikannya yang tersangkut di tiang sudut rumah dan berlalu dengan wajah murung.
Ketika menombak ikan di aliran sungai, kerap kali ia memperhatikan batu besar yang berada di turunan air terjun. Ia menyadari, batu yang awalnya berbentuk sempurna, mulai terkikis hingga membentuk lubang besar yang dijadikan tempat persembunyian ikan-ikan kecil.
“Batu itu semakin dikikis, semakin bermanfaat. Mengapa aku tidak bisa? Aku harus menggapai citaku,” tekad Budi dalam hati.
Sejak kecil, Budiman bercita-cita menjadi pemimpin negeri, agar dapat membantu orang-orang yang hidup dalam kesulitan seperti dirinya.
Keinginan untuk Belajar
Budiman telah membulatkan tekad, ia ingin mengubah nasibnya sendiri. Suatu hari, ia meminta izin kepada neneknya untuk menemui Profesor Adam di Gampong Ukeu Teugah. Sebelumnya, ia sempat bertemu dengan sang Profesor kala sedang berburu di dekat air terjun. Budiman mengutarakan niatnya untuk belajar.
Sesampainya di rumah Profesor Adam, Budiman terperangah melihat berbagai macam peralatan canggih yang diletakkan di setiap sudut rumah. Bahkan ketika ia tiba, pintu rumah Profesor terbuka dengan sendirinya.
Di hadapan Profesor, Budiman kembali menyampaikan perihal keinginannya untuk belajar. Semangat yang ia tunjukkan membuat Profesor Adam setuju untuk mengajarinya berbagai pengetahuan tentang teknologi.
Beberapa tahun kemudian, Negeri Tungkat Ali terjadi kemarau panjang. Gagal panen akibat kekeringan yang terjadi dimana-mana, tak terkecuali di Gampong Ukeu Teugah. Masyarakat pun mengalami kekurangan pangan dan kelaparan.
Janji kampanye Presiden Negara Tungkat Ali pun tak kunjung terealisasi. Sebelumnya, presiden negara itu menjanjikan makan gratis tiga kali sehari bagi setiap warga. Namun kini, bisa makan sehari sekali saja sudah sangat bersyukur. Bahkan, di luar Gampong Ukeu Teugah banyak warga yang kelaparan dan mengalami gizi buruk.
Di samping itu, Budiman yang sebelumnya tak miliki ilmu pengetahuan telah tumbuh dewasa, dan menjadi asisten Profesor. Ia pun mencoba memikirkan inovasi agar warga dapat keluar dari permasalahan kekeringan dan gagal panen.
Budiman menciptakan perpaduan genetik benih padi agar dapat ditanam di berbagai musim dan menghasilkan panen yang melimpah. Selain itu, ia juga mendesain pengairan lahan pertanian dengan membuat saluran irigasi dari hiliran air terjun, tempat biasa ia merenungi nasib.
Ia pun mengajak warga untuk gotong royong menggali saluran air irigasi dan membagikan benih tanaman kepada masyarakat. Beberapa bulan kemudian, warga mendapatkan hasil panen yang melimpah, dan lebih unggul dari benih yang biasa ditanam.
Keberhasilan Budiman tidak terlepas dari jiwa pantang menyerah yang ditanamkan neneknya dari kecil. Kebodohan yang diimajinasikannya, menjadi kecerdasan dan kemanfaatan bagi orang banyak.(*)
* Penulis adalah editor di Basajan.net
.
EDITOR: JUNAIDI MULIENG