Kekuasaan Itu Candu

oleh -96 views
Kekuasaan Itu Candu
ILUSTRASI: BASAJAN.NET/JM

Oleh: Junaidi*

BASAJAN.NET- Pagi itu, seorang pria yang tak pernah bermimpi menjadi siapa-siapa tiba-tiba dikejutkan oleh satu bisikan, “waktumu telah tiba.” Ia bukan orang penting, tidak juga berprestasi. Ia hanya seseorang yang entah kenapa, nasib memilihnya untuk menduduki kursi kekuasaan.

Seperti layaknya manusia biasa, awalnya ia merasa gentar. Bagaimana mungkin seorang yang dulu harus mengais recehan, kini berada di atas, memandang rendah dari puncak takhta?

Namun, kursi itu terlalu nyaman. Pada awalnya, rasa nyaman itu datang perlahan, seperti angin yang membelai lembut. Namun lambat laun, berubah menjadi candu. Ia menganggap kursi itu sebagai hak istimewa yang diberikan oleh takdir. Bisikan orang-orang di sekitarnya, yang tak henti memuja, kian meneguhkan keyakinannya, “engkaulah yang terbaik. Tanpamu, segalanya akan runtuh.”

Dari waktu ke waktu, gelombang pujian kian menenggelamkan. Benih-benih keangkuhan mulai tumbuh subur, ia mulai merasa semuanya tidak akan berjalan tanpa dirinya. Keputusan-keputusan tak masuk akal pun mulai sering dikeluarkan. Baginya, hidup orang lain hanyalah angka dalam permainannya.

Kritik bukanlah ͏satu pilihan, palin͏g tidak untuk mereka͏ yang͏ ada di da͏lam lingkaran kuasa. Mereka cen͏derung diam dan siap mendukung kebi͏jakan-kebi͏jakan yang aneh, agar posisi dan kepentingan diri tetap aman.

Segalanya tak seindah yang tampak. Seperti pecandu yang dosisnya terus bertambah setiap waktu, ia memerlukan lebih banyak kekuasaan. Proyek-proyek kecil tak lagi memuaskan. Ia semakin dahaga akan hal besar, seperti gelar kehormatan, penghormatan abadi, dan kesetiaan mutlak.

Tanpa disadari, ia tak lagi mendengar suara rakyat, hanya gema pujian palsu yang terus diputar oleh para penjilat. Dunia seakan menyempit menjadi hitam-putih, mereka yang mendukung adalah kawan, yang menentang adalah musuh.

Ketika Candu Habis

Candu kekuasaan bukanlah teman setia. Di tengah-tengah keasyikannya, retakan mulai muncul. Loyalitas yang dulu solid kini memudar, berubah menjadi keraguan. Orang-orang yang tadinya menyanjung mulai berbisik-bisik di belakang, mencari jalan keluar sebelum kapal karam.

Namun karena terlalu mabuk oleh kekuasaan, sang pemimpin tak menyadari ancaman yang mengintai. Baginya, semua masih baik-baik saja. Ia percaya bahwa loyalitas dibangun atas dasar cinta dan hormat, bukan karena ketakutan atau kepentingan sesaat.

Hingga tiba saatnya candu itu habis, dan kenyataan menghantam keras. ͏Pengikut-pengi͏ku͏t se͏tia yan͏g dulu terus ͏memuja, ki͏ni p͏ergi satu demi͏ satu. Mereka cari orang baru, seseorang y͏ang bisa jadi tumpuan lain͏ untuk penuhi ͏kei͏nginan akan berkuasa͏.

Semua itu tak lebih dari bayangan semu, fatamorgana yang lenyap ketika candu berakhir. Kekuasaan bukanlah puncak kebahagiaan, melainkan jurang penelan bagi mereka yang serakah. Kekuasaan adalah candu paling manis, sekaligus paling mematikan. Dimulai dengan janji kebesaran, berakhir dengan kehampaan yang tak terperi.

Namun, seperti siklus yang tak pernah putus, selalu ada aktor-aktor baru yang siap mengambil alih peran, dengan kayakinan bahwa mereka mampu mengendalikan candu tanpa terperangkap di dalamnya.

Mereka lupa, candu kekuasaan tak pernah berubah. Ia menuntut pengorbanan yang sama, menggiring korban-korbannya pada ilusi yang sama, dan pada akhirnya, kehancuran yang sama. Dalam rumus ambisi, logika sering kali dikalahkan oleh manisnya godaan kekuasaan.(*)

* Penulis adalah Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.