Kita Semua Kurcaci yang Berdiri di Bahu Raksasa

oleh -359 views
Kita Semua Kurcaci yang Berdiri di Bahu Raksasa
Ilustrasi raksasa dan kurcaci. (BASAJAN.NET/JM-AI)

Oleh: Mellyan*

BASAJAN.NET, Meulaboh- Di warung kopi ternama sebuah kota kecil pesisir, seorang lelaki muda sedang menyombongkan tentang pencapaian dan keberhasilan hidup yang ia raih dalam waktu singkat, di usianya yang baru memasuki pertengahan 20-an. 

“Semua saya raih atas hasil kerja keras sendiri, tidak ada yang membantu,” ujarnya dengan suara yang mudah didengar seisi warung kopi. Apalagi dari saya yang hanya duduk berselang dua meja darinya. 

“Wah hebat sekali,” pikir saya ketika itu. 

Masih muda, tapi sudah bekerja diperusahaan dengan gaji dua digit. Tapi tunggu sebentar, benak saya kembali mengulang apa yang dikatakan sipemuda itu. 

“Semua diraihnya tanpa bantuan siapa pun.”

Kasihan sekali dia tidak ada yang membantu. Tapi di sisi lain, keberhasilan semacam itu atas hasil kerja keras sendiri adalah sebuah kebanggaan. 

Namun jika dipikir lebih dalam, benarkah semua atas kehebatannya dan tidak ada yang membantu sama sekali?

Kebetulan laptop saya terbuka, sedang mencari referensi jurnal. Tentu saja halaman yang terbuka saat itu adalah google scholar atau google cendikia dalam versi Indonesia. Mata saya tertuju pada tulisan “Stand on the Shoulders of Giants“, Berdiri di Bahu Raksasa. 

Siapa yang berdiri di bahu raksasa. Apakah ini pertarungan manusia dengan raksasa? Ternyata bukan. Ini adalah kalimat yang kini menjadi catch phrase dari Google Scholar, yang merupakan terjemahan secara harfiah dari kalimat Nanos Gigantum Humeris Insidentes. Kalimat ini diatribusi pada Bernard of Chartres di abad ke-12.

Pada 1159, John of Salisbury menulis dalam Metalogicon-nya: “Bernard dari Chartres biasa membandingkan kami dengan kurcaci yang bertengger di pundak para raksasa. Dia menunjukkan, kita melihat lebih jauh dan mengetahui lebih banyak daripada para pendahulu, bukan karena kita memiliki penglihatan yang lebih tajam atau ketinggian yang lebih, tetapi karena kita diangkat oleh perawakan raksasa-raksasa itu.”

Metafora kurcari yang berdiri di bahu raksasa ini kemudian dipopulerkan oleh Sir Isaac Newton dalam suratnya kepada Robert Hooke pada tahun 1676 dengan kalimat lengkap “If I have seen further, it is by standing on the shoulders of giants.”

Secara sederhana, maksud dari kalimat tersebut, seperti yang dikatakan Newton, “Jika aku sudah melihat jauh ke depan, itu karena aku berdiri di bahu raksasa.” Newton menulis kalimat itu dalam suratnya untuk menunjukkan rasa hormatnya kepada Hooke atas pemikiran-pemikirannya yang sudah membuka wawasan pribadi Newton.

Tidak hanya kepada Robert Hooke, ucapan terima kasih dengan mengambil metafora kurcaci yang berdiri di bahu raksasa juga ia sampaikan kepada gurunya yang lain, seperti Rene Descartes Newton. Meskipun sebagai orang pintar dengan segala pencapaiannya, ia menyadari betul kekerdilannya. Ia bukan apa-apa tanpa transfer ilmu dari para “raksasa” itu. 

Ilustrasi. (BASAJAN.NET/JM-AI)

Kurcaci yang Jatuh dari Bahu Raksasa

Kita adalah kurcaci, makhluk kerdil yang pertama kali ditatih dan dilatih oleh orang tua, disayangi dan dididik. Kemudian dilanjutkan para guru yang berjasa memberikan ilmunya, meskipun mungkin di kemudian hari, kita merasa ilmu tersebut sudah terlalu ketinggalan zaman, seperti banyak yang diucapkan anak muda hari ini. Tapi bukankah itu menjadi awal pengetahuan kita untuk kemudian berkembang?

Bahkan hewan, udara, awan, langit dan semesta adalah guru terbesar bagi kehidupan. Tidak ada yang bergerak sendirian, semuanya berjalan dalam harmoni yang telah diatur yang Maha Kuasa. Bukankah jika kita merasa semua karena diri kita sendiri, hal itu menafikan keberadaan yang Maha Kuasa sebagai pencipta. 

Jika sebatas berbangga atas lelah yang telah dicapai mungkin tak mengapa, tapi jangan sampai berlama-lama dan akhirnya melupakan para raksasa yang telah membesarkan kita. Kita bisa melihat lebih jauh dan lebih jelas karena kita berdiri di bahu mereka. Jangan pernah remehkan para raksasa itu, karena jika para raksasa limbung atau terguncang, sakit sekali jika kurcasi terjatuh dari bahu raksasa. 

Lalu, apakah sipemuda menjadi jumawa dan bersalah dengan kebanggannya? 

Itu semua tergantung dari perkembangan pola pikir. Bisa jadi saat itu ia sedang lupa sesaat atas jasa semua rakasasa di hidupnya. Nanti dengan proses dan berjalannya hidup, semoga ia lebih bijak dan menghargai hal sekecil apa pun yang diberi semesta. 

Semoga kita semua termasuk yang menghargai para raksasa di kehidupan kita, apapun dan siapa pun mereka.(*)

=========================

* Penulis adalah Dosen STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, editor dan mentor di Basajan.net. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.