BASAJAN.NET, Banda Aceh- Seniman dan budayawan Aceh, Teuku Ahmad Dadek menilai, beberapa seni dan budaya Aceh saat ini sudah tinggal kenangan dan mati di atas pupuknya sendiri. Menurutnya, kematian seni dan budaya Aceh Melayu bisa dilihat dari masa ke masa.
“Dulu Dalupa adalah seni pertunjukan yang menjadi dominan di masyarakat Aceh,” ujar Teuku Ahmad Dadek.
Hal tersebut disampaikan Teuku Ahmad Dadek pada Seminar Nasional Wajah Seni dan Budaya Islam Aceh Melayu, yang diselenggarakan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Selasa 10 September 2019, di aula lantai III Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Ahmad Dadek memaparkan, pada tahun 1960-an, budaya Dalupa hanya tinggal di Aceh Barat dan Aceh Jaya, sedangkan di daerah lain sangat cepat hilang.
“Digantikan seni pertunjukan panggung teater Sinar Jeumpa dan kawan-kawan,” jelas Dadek yang juga Asisten II Sekda Aceh.
Selain itu, menurut Dadek, ada beberapa hal yang menyebabkan Seni dan Budaya Aceh Melayu tidak mampu bertahan digempur zaman. Di antaranya, dipangku oleh Internasional etnik, disaring ketat oleh Islam, tidak kreatif, kurang inovatif, bencana tsunami, dan konflik.
Apakah Aceh memiliki seni dan budayanya sendiri? Mengingat orang Aceh adalah multi etnik bangsa, kata Dadek, tentu memiliki budaya original, tetapi bisa dihitung jari. Hal ini dikarena sebagian besar budaya dan seni Aceh adalah pengaruh dari berbagai belahan dunia.
“Namun, Aceh juga pernah mendominasi pengaruh budaya-budaya Indonesia, terutama di daerah jajahan dari Langkat sampai ke Ribee Bengkulu,” paparnya di hadapan ratusan peserta yang hadir.
Dadek melanjutkan, seni dan budaya yang disandarkan kepada Aceh agak sukar didapat yang original, kecuali di beberapa di daerah dataran tinggi Gayo.
“Saman adalah pengaruh Arab yang sangat besar. Seudati yang dapat dikatakan sebagai budaya asli Aceh. Sementara Sidalupa, Seukat dan lainnya sudah mulai rendam,” katanya.
Begitu juga Ratoh Jaroe adalah kreasi baru yang merupakan varian dari Saman. Ranup lampuan adalah kreasi baru yang menjadi trademark Aceh yang kebetulan diciptakan non etnik Aceh.
“Termasuk budaya makan sirih adalah pengaruh India, Mie walaupun menggunakan kata Aceh adalah makanan dari China, tinggal sambai 44 on, gulai durian yang masih lestari,” urai Dadek.
Sementara itu, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, Sudirman mengatakan, hancur dan mundur sebuah bangsa, pintu utamanya adalah budaya. Bahkan ada Negara yang hancur bukan karena kekuatan militer, tetapi karena hancurnya budaya.
Di sisi lain, senator yang akrab disapa Haji Uma, lewat film komedi Aceh “Eumpang Breuh” ini menyampaikan, masyarakat Aceh jangan selalu bergantung pada transfer dana pemerintah dalam mengembangkan seni dan budaya di daerah.
“Kalau tidak ada dana, seni budaya di kampung tidak jalan, tidak boleh begitu,” kata Haji Uma.
Kegiatan tersebut dibuka secara resmi oleh Rektor UIN Ar-Raniry, Warul Walidin. Diikuti perwakilan akademisi, peneliti, budayawan, pegiat seni, tokoh masyarakat, perwakilan pemerintah, mahasiswa dan masyarakat umum lainnya.
Seminar tersebut menghadirkan sejumlah narasumber antara lain Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, Sudirman, Dosen Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Sumatera Barat, Sulaiman Juned, Kepala BPNB Aceh, Irini Dewi Wanti, Seniman dan Budayawan Aceh, T Ahmad Dadek, Nurdin AR, dosen FAH UIN Ar-Raniry serta Guru Besar UIN Ar-Raniry, Yusny Saby.[]
EDITOR: JUNAIDI MULIENG