Sejumlah Bank Ikut Danai Perusahaan Pelaku Kebakaran Hutan

oleh -1,606 views
ILUSTRASI KEBAKARAN HUTAN. FOTO: PIXABAY.

BASAJAN.NET, Jakarta- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHK) telah menyegel operasi 64 perusahaan di Sumatera dan Kalimantan yang terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan 2019.

Berdasarkan investigasi perkumpulan TuK INDONESIA (Transformasi untuk Keadilan), ditemukan kepemilikan 64 perusahaan tersebut berada di bawah kendali 17 kelompok perusahaan induk. Seperti Austindo, Batu Kawan, Cargill, DSN, Genting Group, Harita Group, LG International, Provident Agro, Rajawali Group dan Royal Golden Eagle. 

“Analisis keuangan 17 kelompok perusahaan tersebut terungkap, mereka telah menerima pinjaman korporasi dan fasilitas penjaminan setidaknya US$19,2 miliar atau sekitar Rp266 triliun sejak 2015,” ujar Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, Edi Sutrisno, dalam siaran pers kepada awak media, Kamis 31 Oktober 2019.

Sumber: TuK INDONESIA

Sebelumnya, TuK INDONESIA bersama Jikalahari dan WALHI Eksekutif Nasional, mengadakan konferensi pers di KeKini Ruang Bersama, Jalan Cikini Raya No. 43/45 Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 30 Oktober 2019. Lembaga lingkungan hidup tersebut secara khusus memaparkan terkait investasi dan pendanaan di balik perusahaan tersangka pembakar hutan.

Menurut Edi, pemberi pinjaman tunggal terbesar untuk kelompok perusahaan ini adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Diikuti Maybank dan Bank Nasional Indonesia (BNI). Dari 10 bank teratas yang mendanai grup korporasi ini, bank-bank dari Indonesia mewakili bagian pendanaan terbesar, dengan nilai sebesar US$3,3 miliar. Diikuti bank-bank Tiongkok US$2,0 miliar dolar dan bank-bank Malaysia sebesar US$1,9 miliar. 

Dalam paparannya Edi menyebutkan, para penyandang dana grup terbesar yang banyak berasal dari luar negeri, telah meresikokan kondisi hutan dan lingkungan di Indonesia. Mereka mencari profit sebesar-besarnya, kemudian menyetorkan keuntungan tersebut kepada pemegang saham dan investor di negeri asalnya.

“Karhutla tahun 2019 ini, banyak terjadi di atas gambut maupun mineral, seperti kebakaran tahun 2015 lalu,” sebut Edi.

SUMBER: TuK INDONESIA

Made Ali, dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mengatakan, upaya menghentikan karhutla tak bisa hanya melalui perbaikan tata kelola pemerintahan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, kehutanan dan perkebunan.

Menurutnya, KLHK sebagai ujung tombak perlu secepatnya menyasar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kejahatan terorganisir terkait karhutla. KLHK harus mendorong para pihak tersebut untuk melakukan penapisan investasi, dengan mempertimbangkan keberlanjutan. Melahirkan panduan pembiayaan pro natura, yang akan berkontribusi pada pencegahan karhutla. 

“Dulu Jokowi bilang, akan melakukan evaluasi izin, dan di tahun 2019 ini, menyatakan bahwa karhutla adalah produk dari kejahatan terorganisir,” ungkap Made Ali.  

Selain itu, kata Made, KLHK juga perlu bekerjasama dengan otoritas keuangan internasional, karena kajian membuktikan, pembiayaan ini banyak berasal dari luar Indonesia.

SUMBER: Tuk INDONESIA

Berdasar olah data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Januari s.d. September 2019, jumlah hotspot (titik api) pada lokasi konsesi kehutanan dan perkebunan, terdeteksi sebanyak 837 jumlah korporasi (HGU: 440,  IUPHHK–HT : 235, IUPHHK–HA : 162 izin). 

Namun pada saat yang sama, pemerintah masih terus saja mengklaim bahwa penanganan Karhutla masih lebih baik dari tahun 2015, dengan mengabaikan fakta ada kenaikan signifikan hotspot hingga 100 persen dari 2016 ke 2019.

Manajer Kampanye WALHI Eksekutif Nasional, Wahyu Perdana menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan tidak mengakui dan menutup mata kondisi darurat kebakaran hutan di lahan korporasi.

Ia berpandangan, hal tersebut menunjukkan PR pemerintah dalam penegakan hukum terhadap korporasi masih cukup besar. Tidak dieksekusinya putusan-putusan atas ganti kerugian dan pemulihan lingkungan hidup dalam kasus-kasus karhutla secara maksimal, menunjukkan tidak seriusnya penegakan hukum. 

“Termasuk tidak menyentuh sektor pembiayaan, sehingga korporasi yang terlibat karhutla masih terus beroperasi dan menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang semakin parah dari tahun ke tahun,” ujar Wahyu.

Menurutnya, semenjak karhutla besar tahun 2015, pembiayaan yang disediakan para penyandang dana tidak mengalami penurunan. Bahkan terus tumbuh, terutama ditujukan untuk membiayai grup bisnis para taipan. Sebagian besar portofolio berasal dari bank-bank BUMN, BUMD serta swasta nasional yang ditujukan untuk membiayai korporasi yang sudah disegel. 

Wahyu menyarankan, OJK segera menuju tahap berikutnya dari Roadmap Keuangan Berkelanjutan. Berkoordinasi dengan KLHK melalui pertukaran informasi, penciptaan kebijakan pembiayaan yang lebih baik, yang dapat mendorong penegakan hukum. 

“OJK juga harus mampu secara efektif memainkan peran pengawasannya terhadap lembaga jasa keuangan,untuk memitigasi risiko sistemik terhadap perekonomian nasional,” tegasnya.[]

 

EDITOR: JUNAIDI MULIENG

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.