GeRAK Siap Kawal Kasus Peremajaan Sawit di Aceh Barat dan Nagan Raya

oleh -387 views
Koordinator GeRAK Aceh Barat, Edy Syahputra. (BASAJAN.NET/DOK. PRIBADI).

BASAJAN.NET, Meulaboh- Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, siap mengawal dan memberikan dukungan penuh terhadap upaya penegakan hukum dalam kasus pengelolaan program peremajaan (replanting) sawit di Aceh Barat dan Nagan Raya. Kasus tersebut saat ini telah dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh.

“Tentunya, kita mendukung upaya pengusutan secara utuh dan tidak sepenggal-penggal terkait dugaan adanya indikasi kerugian negara, dalam pengelolaan program Kementerian Keuangan,” kata Koordinator GeRAK Aceh Barat, Edy Syahputra, dalam siaran pers kepada awak media, Selasa, 22 Juni 2021.

Edy menuturkan, Kementerian Keuangan, melalui Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian merilis program hibah Rp25 juta per orang/kepala keluarga untuk peremajaan sawit di sektor perkebunan sawit rakyat.

Namun, lanjut Edy, berdasarkan Keputusan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Nomor Kep-167/DPKS/2020, tentang besaran standar biaya dana peremajaan perkebunan kelapa sawit yang dibiayai Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit meningkat menjadi Rp30 juta per hektare.

“Secara khusus kami menyoroti Surat Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan Nomor: 1365/PW.120/E.4/11/2020, tanggal 19 November 2020 perihal Permintaan Data Terkait Lahan Dalam Rangka PDTT BPK-RI Peremajaan Kelapa Sawit,” ujarnya.

Edy menyampaikan, surat tersebut menyebutkan adanya pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas peremajaan perkebunan kelapa sawit tahun 2018, 2019, dan 2020 (s.d Triwulan III). Sebagaimana surat tugas BPK-RI Nomor 103/ST/VI/10/2020 tanggal 02 Oktober 2020.

Ia mengatakan, dalam surat tersebut disebutkan ada empat item kegiatan yang berpotensi bermasalah dan menimbulkan kerugian negara. Seperti lahan pekebun terindikasi masuk dalam kawasan hutan dan HGU perusahaan, tidak sesuai kriteria peremajaan (bukan lahan sawit), tumpang tindih antara pekebun dengan pekebun lain, lahan yang alas haknya berupa sertifikat hak milik (SHM), dan legalitas lahan yang luasannya tidak sesuai dengan di lapangan.

Total Kerugian Rp18 Miliar Lebih

Edy menyebutkan, di Aceh Barat untuk lahan pekebunan kelapa sawit di dalam area HGU Perusahaan Kelapa Sawit swasta, luas area mencapai 190,13 hektar. Jika dikalikan Rp25 juta, maka total angkanya mencapai Rp4,75 miliar. Sedangkan di Kabupaten Nagan Raya, luas area mencapai 8,43 hektare, dengan angka Rp210 juta.

“Itu untuk Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusare dan Koperasi Jasa Seupakat Makmue Beusare,” terangnya.

Kemudian, untuk lahan perkebunan yang diduga masuk dalam kawasan hutan di Kabupaten Aceh Barat, Edy menyebutkan, luas area yang dikelola Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusare mencapai 197,29 hektare, dengan jumlah produksinya 61 hektare dan indikasi kerugian mencapai Rp1,5 miliar.

“Yang menjadi pertanyaan, kemana dibawa ratusan kubik kayu hasil penebangan kawasan hutan tersebut?” herannya.

Edy mendesak pihak penegak hukum untuk melakukan audit investigatif guna mengetahui jumlah kayu olahan dari hutan yang ditebang pihak koperasi, serta para penjual dan penampung. Menurutnya, kegiatan penembangan hutan yang dilakukan oleh pihak koperasi telah menimbulkan potensi kerugian negara disektor kehutanan.

“Kami juga mendesak pihak kejaksaan untuk memanggil dinas atau otoritas terkait,” tekannya.

Selanjutnya untuk lahan perkebunan sebelum kegiatan PSR bukan merupakan kebun sawit. Edy menyebutkan, dari data tersebut, untuk Aceh Barat luasnya mencapai 2.837,54 hektar. Bila dikalikan dengan harga Rp25 juta, maka total nilainya mencapai Rp70 miliar lebih.

“Tentunya ini perlu penjelasan yang lebih mendetail dari pihak terkait, mengingat angkanya begitu besar. Apakah lahan perkebunan PSR bukan merupakan lahan sawit tersebut sudah kesemuanya dikerjakan atau tidak,” ucapnya.

Terkait data tumpang tindih lahan, Edy mengatakan, untuk Kabupaten Aceh Barat lahan yang berada di bawah Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusare seluas 70,75 hektare, dengan nilai Rp1,76 miliar.

Kemudian, lanjut Edy, dari hasil audit tersebut juga menyebutkan tentang data lahan beririsan yang berada di Kabupaten Aceh Barat dan dikelola oleh Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusare, seluas 113,09 hektar.

“Bila ditotal, secara keseluruhan angkanya mencapai Rp18 miliar lebih,” ungkapnya.

Menurut Edy, angka tersebut belum termasuk hasil hitungan lahan perkebunan sebelum kegiatan PSR bukan merupakan kebun sawit, yang mencapai Rp70 miliar lebih.

“Juga tidak termasuk kerusakan (total loss) untuk kayu yang ditebang, yang kami duga tidak mendapatkan izin dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh,” jelasnya.

Edy mengatakan, pihaknya akan terus mengawal dan akan segera melaporkan hal tersebut kepada pihak penegak hukum. Baik provinsi, maupun pusat, termasuk ke Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).

“Sekali lagi, ini patut dipertanyakan. Bila kemudian terindikasi adanya pihak penegak hukum yang terlibat dalam hal ini, maka ini menjadi catatan buruk dalam penegakan hukum di republik ini,” tutupnya.[]

——————————-

EDITOR: JUNAIDI MULIENG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.