BASAJAN.NET, Jakarta– Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud al Haytar, mengungkapkan kekecewaannya terkait tindaklanjut Tim Peralihan Badan Pertanahan Nasional menjadi Badan Pertanahan Aceh yang belum juga terbentuk. Padahal menurutnya, hal tersebut merupakan perintah Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai turunan hasil perjanjian MoU Helsinki.
“Sudah empat tahun belum juga ditindaklanjuti dengan membentuk tim peralihan oleh Menteri Pertanahan dan Tata Ruang,” kata Wali Nanggroe dalam rapat bersama Komisi II DPR RI di Jakarta, Rabu, 25 September 2019.
Dalam pernyataan tertulis kepada wartawan, Malik Mahmud mengungkapkan, sebelumnya telah ada Perpres Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota.
“Tapi sampai sekarang menteri belum bentuk tim pengalihan, ini bagaimana sudah empat tahun,” gusarnya.
Pasal 12 Ayat (5) Perpres Nomor 23 Tahun 2015 menyebutkan, untuk kelancaran pengalihan kelembagaan, status kepegawaian, aset, dan dokumen dibentuk Tim Pengalihan yang dipimpin langsung oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang, serta beranggotakan instansi-instansi terkait. Tim Pengalihan ini ditetapkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Tim Pengalihan sudah harus ditetapkan paling lama satu bulan setelah Perpres diundangkan. Selanjutnya Tim Pengalihan sudah melaksanakan tugasnya paling lama satu bulan sejak ditetapkan
“Saya kecewa, kenapa begini,” kata Wali Nanggroe sembari mengingatkan jangan sampai persoalan tersebut kemudian menjadi persoalan besar karena tidak disikapi dengan baik.
Menurutnya, salah satu sebab konflik berkepanjangan Aceh dikarenakan persoalan-persoalan kecil yang lambat ditangani.
“Karena itu, saya harap jangan ada konflik lagi. Jangan sampai terulang lagi. Maka selesaikanlah dengan baik,” tegas Malik.
Kepala Dinas Pertanahan Aceh, Edi Yandra yang mewakili Gubernur Aceh menyampaikan, ada dua penting terkait masalah tersebut. Pertama, menindaklanjuti Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Kemudian menindaklanjuti Perpres Nomor 23 tahun 2015, dan juga menindaklanjuti Perpres Nomor 95 tahun 2016 tentang perangkat daerah Aceh.
Kedua, lanjutnya, perlu segera dilakukan revisi terhadap Perpres Nomor 23 tahun 2015 untuk penyesuaian dengan UU nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.
“Kita berharap, Komisi II mendorong kementerian bersama pemerintah Aceh membentuk tim pengalihan agar perintah Presiden segera bisa dijalankan,” ungkap Edi.
Sementara itu, Anggota Tim Pengawalan UUPA, Prof Jamal mempertanyakan keseriusan pemerintah pusat terhadap komitmen yang telah dibuat melalui Perpres Nomor 23 Tahun 2015.
Menurutnya, pemerintah harus cepat menyelesaikan persoalan ini sebelum terjadi masalah besar.
“Masyarakat bertanya-tanya kemana aspirasi MoU Helinski tersebut. Jangan sampai, kepercayaan masyarakat Aceh kepada Pemerintah Pusat tercoreng lagi,” ungkapnya mengingatkan.
Pertemuan yang dipimpin oleh Wakil Komisi II DPR RI, Herman Khairon tersebut, dihadiri Dirjen Otda Akmal Malik dan Sekjen Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Sementara dari Aceh, turut hadir Kepala Dinas Pertanahan Aceh, praktisi hukum T Nasrullah, Kepala Badan Penghubung Pemerintah Aceh (BPPA) Almuniza Kamal, serta dua wakil rakyat Aceh yaitu Sudirman dan Muslim, dan tokoh Aceh Ahmad Farhan Hamid.[]
EDITOR : RAHMAT TRISNAMAL