Penulis: Rusnan Dinata*
“Dalam hal ini saya rasa, perlu adanya pendalaman terhadap sejarah agama, tidak cukup dengan ajaran fiqih ibadah saja.”
Di zaman yang semakin maju, lapangan perkerjaan yang semakin sempit, membuat sebagian orang mencari berbagai cara untuk mendapat sumber pendapatan. Seperti yang terjadi di Woyla akhir-akhir ini, sekumpulan orang yang menggantungkan hidup dari berburu babi menelusuri setiap pelosok hutan. Kebanyakan dari mereka adalah warga non-muslim yang datang dari Sumatera Utara dan sekitarnya. Dalam Islam, babi adalah binatang yang diharamkan, sehingga tidak jarang masyarakat memandang sebelah mata terhadap pendatang tersebut.
Woyla merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Aceh Barat, daerah yang berjuluk “Negeri Tauhid Sufi” yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Di sana banyak berdiri pesantren/dayah yang menjadi tempat utama dalam mencari ilmu agama. Walaupun demikian, tidak dapat kita pungkiri zaman semakin berkembang dan maju, hidup manusia pun semakin berubah.
Manusia sebagai makhluk sosial saling membutuhkan satu sama lain. Manusia melakukan berbagai macam cara untuk dapat mencukupi kebutuhannya, salah satunya yaitu merantau ke daerah orang lain. Hal ini bukanlah perkara mudah, saat merantau akan banyak sekali tantangan dan rintangan, karena setiap daerah memiliki keragaman berbeda-beda, mulai dari etnis, budaya, bahasa, dan agama. Kita tidak mudah diterima begitu saja. Namun, jika kita benar-benar mengimani dan mempelajari agama Islam dengan benar, tentunya kita dapat dengan lapang hati menerima setiap perbedaan yang ada, termasuk mereka yang bekerja di luar kebiasaan orang pada umumnya, berburu babi.
Sebenarnya, jika kita melihat lebih jauh, keberadaan para pemburu babi ini membawa banyak dampak positif. Terlebih bagi warga Woyla yang umumnya petani, di mana tanaman mereka sering diganggu hama babi. Walau tidak sepenuhnya hilang, kehadiran para pemburu ini setidaknya dapat mengurangi jumlah babi yang sangat merugikan masyarakat setempat. Para petani tidak perlu lagi memasang perangkap babi di kebun mereka.
Meski demikian, stigma negatif terhadap para pemburu babi masih saja terjadi di dalam masyarakat. Terlebih perburuan dilakukan di tengah mayoritas masyarakat muslim, seperti di Aceh. Namun ada juga masyarakat yang memakluminya sebagai bentuk mata pencaharian orang luar. Jadi, kondisi ini berjalan normal, karena para pendatang yang mencari rezeki dengan berburu babi tersebut tidak mengganggu masyarakat, seakan-akan mereka tau dan sangat menghargai penduduk setempat. Tempat tinggal mereka pun jauh dari pemukiman warga. Mereka hanya turun sesekali saat kebutuhan pokok mereka habis.
Toleransi Kunci Kedamaian
Dalam hal ini saya rasa, perlu adanya pendalaman terhadap sejarah agama, tidak cukup dengan ajaran fiqih ibadah saja. Sikap toleransi telah jauh hari tergambar dalam sejarah Islam, bagaimana Nabi memperjuangkan agama Islam di atas muka bumi ini, dari masyarakat yang semula menyembah berhala, kemudian menyembah tuhan yang satu Allah SWT. Jika Nabi membenci agama lain, pasti Nabi akan terhalang dalam memperjuangkan agama Islam di waktu itu.
Mengenai untuk kesucian harta dan jiwa, kita tidak harus memojokkan mereka, toh banyak perbuatan-perbuatan kita yang jauh lebih haram. Dalam kehidupan masyarakat kita, masih banyak yang harus dibenahi. Pencuri, perampok uang rakyat dan judi, masih meraja lela, bahkan tidak sedikit juga orang agama Islam yang melakukannya. Maka kita harus banyak introspeksi diri, karena Allah melarang kita untuk saling membenci dan memusuhi terhadap agama lain. Bahkan Nabi kita Muhammad Saw saja, telah mengajarkan kita untuk toleransi dalam umat beragama. Sebenarnya kita bisa membaca sejarah nabi, waktu memperjuangkan agama dan bagaimana sikap Nabi terhadap orang non-muslim. Bahkan ada satu peristiwa, Nabi diludahi oleh orang kafir, namun ketika orang tersebut sakit, Nabi yang pertama kali menjenguknya. Apa pantas kita selaku umat Nabi yang penuh dengan dosa, membenci dan berkata kata kotor terhadap sesama hanya karena berbeda agama?
Pada intinya, kita sama-sama ciptaan Allah sudah sepatutnya saling menghargai antara sesama, baik yang seagama maupun berbeda agama. Di sinilah fungsi Lakum Dinukum Waliyadin, bagimu agamamu, bagiku agamaku. Setiap kebaikan yang kita lakukan, pastinya akan kembali kepada masing-masing diri kita. Jika kita mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai setiap perbedaan yang ada, tentunya orang lain akan manaruh hormat kepada kita. Sebagai umat Islam, hubungan kita tidak semata-mata hanya dengan Allah saja, tetapi juga ditentukan oleh hubungan kita dengan sesama. Dalam bernegara, pilihan untuk memeluk agama tertentu merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang diatur secara perundang-undangan. Antar umat beragama tidak dibolehkan untuk memaksakan keyakinan agamanya kepada umat yang lain, hal ini untuk menjaga keselarasan antar umat beragama.
Toleransi umat beragama salah satu kunci keamanan dan kedamaian suatu daerah, negara, bahkan dunia sekali pun. Oleh sebab itu, yang berlalu biarlah berlalu, mulai sekarang mari kita tata dan bangun prinsip baru yaitu toleransi dalam beragama di masyarakat. Menghargai mereka yang berbeda secara agama dan keyakinan dengan kita, seperti itulah Islam menganjurkan. Ketahuilah damai itu indah.(*)
—————————————————————
*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Hukum Pidana Islam, Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh. Email: rusnandinata@gmail.com.
Artikel ini merupakan hasil kerjasama Seuramoe Moderasi Beragama STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh dengan LABPSA TV Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry Banda Aceh, telah melewati sejumlah pengeditan sesuai kebijakan redaksi tanpa mengubah substansi. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis.