Seorang Kartini yang Lincah, Terbuka dan Cerdas

oleh -568 views
Poster Film Kartini

Basajan.net- Kartini yang kita saksikan di layar lebar adalah Kartini yang cerdas, cergas, jail, dan senang mengganggu orang-orang yang disayanginya. Dia tak hanya pandai menguntai kata-kata di atas kertas yang terbang ke Belanda menemui kawan-kawannya, Stella dan Nyonya Abendanon, serta kakanda tersayang, Sosrokartono. Kartini interpretasi Hanung Bramantyo adalah sebuah wajah baru yang segar.


Sejak kanak-kanak, Trinil, si burung lincah (julukan Kartini), adalah gadis kecil yang banyak bertanya, memprotes segala tata krama ningrat yang merepotkan gerak tubuh dan mengekang pemikirannya. Kelak, ketika remaja, dia semakin membuat marah khalayak bangsawan, yang merasa fondasi kekuasaan dan feodalisme diguncang oleh perempuan ini.

Pembukaan film terbaru Hanung Bramantyo adalah sebuah penutupan. Syahdan, ayah Kartini, RM Adipati Ario Sosroningrat, bertanya kepada putrinya yang istimewa itu: ”Apakah engkau siap menjadi raden ayu?”

Bagi kalangan bangsawan Jawa di abad ke-19, menjadi raden ayu berarti siap dikawinkan dengan anggota keluarga bangsawan lain (entah wedana, bupati, entah wakil bupati) yang sering kali sudah beristri satu, dua, atau tiga orang. Menikah dengan sesama bangsawan penting untuk meneruskan darah biru. Jadi persoalan perasaan perempuan, apalagi pendidikan, intelektualitas, dan kebebasan, adalah kata-kata yang sama sekali tak bisa (dan tak boleh) terlintas pada pikiran bagi generasi ibunda Kartini, Ngasirah, dan RA Moeryam, ibu tiri Kartini.

Kartini (diperankan Dian Sastrowardoyo) tak langsung menjawab. Hanung kemudian membuka gulungan kisah masa lalu. Kartini kecil memprotes berbagai aturan keningratan yang traumatis: dia tak boleh tidur dengan ibunya sendiri, karena derajat Ngasirah (non-darah biru) berada di bawah derajat sang anak.

Adegan drama masa kecil adalah ciri khas Hanung, yang setiap kali membuat biopik selalu mengulas bagaimana masa kanak-kanak sang tokoh adalah dasar dari tingkah laku dan cara berpikir di masa dewasa kelak. Demikian yang ditunjukkan dalam film Sang Pencerah, Sukarno, dan kini Kartini.

Untung saja kita tak perlu berlama-lama menyaksikan masa kecil ini karena kita langsung berhadapan dengan si bandel Kartini (Dian Sastrowardoyo) serta kedua adiknya, Kardinah (Ayushita Nugraha) dan Rukmini (Acha Septriasa), yang ketularan sang kakak, dari menjaili orang hingga berjuang mendapatkan pendidikan bagi perempuan. Sementara pada berbagai catatan biografi ketiga saudara ini mencemplungkan merica ke dalam minuman Bu Sosro, penjaga mereka, dalam film, trio ini digambarkan lebih sering bandel di balik tembok pingitan.

”Di sini kita bebas, misalnya, jika mau tertawa, kita bisa….” Kartini ngakak sepuasnya. Ini interpretasi sutradara Hanung terhadap surat Kartini yang mengeluhkan betapa dia pernah dicela hanya karena menunjukkan gigi ketika tertawa dan karena dia berani menatap mata lawan bicaranya (sementara gadis Jawa umumnya diharapkan menunduk). ”Orang di sini ingin agar saya menundukkan mata dan berpura-pura. Saya tidak mau. Saya ingin melihat mata orang yang berbicara dengan saya. Saya tidak ingin menunduk,” demikian Kartini menulis pada 12 Oktober 1902 kepada Nyonya R.M. Abendanon-Mandri.

Pingitan yang sebetulnya penjara bagi ketiga gadis itu dimanfaatkan untuk ”menyeberang ke dunia luar” melalui buku-buku milik kakak tercinta mereka, si jenius Sosrokartono (Reza Rahadian). Di sinilah sebuah adegan tak terduga terjadi, ketika Kartini membaca sebuah novel berjudul Hilda Von Suylenberg karya Cecile de Jong tentang seorang pengacara perempuan yang sudah berumah tangga.

Kartini digambarkan seolah-olah menyaksikan adegan sebuah pengadilan di Belanda. Begitu saja penulisnya berdiri di samping Kartini yang takjub menyaksikan bagaimana sang pengacara bersilat lidah soal hukum. Hanung memilih untuk memvisualisasi buku-buku yang dibaca Kartini serta surat-menyurat dengan Stella dan korespondensi dengan kakanda Kartono.

Semua adegan itu tampil seolah-olah Kartini tengah berada bersama lawan bicaranya: di Belanda, di depan kincir angin; di tengah hutan. Bahkan, ketika adat terasa seperti sebuah penjara, dengan air mata merembes Kartini membayangkan dirinya bebas sembari berkata, ”Bawalah aku ke negaramu.” Adegan-adegan visualisasi ini sungguh sebuah interpretasi yang unik dibanding adegan voice-over dan adegan Kartini menulis seperti yang biasa tampil dalam drama-drama televisi Kartini. Pilihan ini menunjukkan Hanung paham bermain dengan mediumnya: sinema.

Sesudah lebih dari dua jam menyaksikan film ini, ada beberapa pujian yang perlu saya kemukakan. Berbeda dengan film Kartini karya Sjuman Djaya pada 1983 yang menampilkan Jenny Rachman yang lebih introvert dan menyampaikan pandangannya dengan lebih hati-hati tapi tajam, versi baru ini lebih menunjukkan Kartini yang cergas, lincah, dan bergelora seperti tulisan-tulisannya.

Trio Daun Semanggi tak hanya digambarkan berlari menyambut gelombang samudra, tapi juga memanjat tembok dan duduk di atasnya sembari berkata ”aku tidak sudi menikah” setelah melihat kakak tiri mereka, Soelastri, dipaksa kawin.

Catatan lain, Hanung cukup teliti dan patuh pada esensi surat-surat Kartini dan mewujudkannya melalui tubuh Dian Sastrowardoyo, yang berani menatap lawan bicaranya apakah dia lelaki Jawa atau Belanda; berani menjawab dengan fasih dan tegas dalam bahasa Belanda, Jawa, atau Indonesia. Kedua hal ini penting bukan sekadar untuk menyenang-nyenangkan penonton perempuan yang kemudian menjadi emosional menyaksikan betapa jauh perjalanan seorang feminis pertama Indonesia itu, tapi juga karena, ”Saya mencoba mencari jawaban mengapa Kartini dinyatakan sebagai pahlawan,” kata Hanung kepada Tempo.

Perkara Kartini pahlawan atau bukan memang selalu menjadi perkara klise dan membosankan yang diulang-ulang setiap tahun. Sejak Kartini dinyatakan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Sukarno pada 1964, tak sedikit orang yang mempertanyakan. Sejarawan Harsja Bachtiar termasuk yang mempersoalkan dengan menyebutnya sebagai ”pahlawan yang dibesarkan Belanda”–demikian seperti yang dikutip oleh sejarawan Hilmar Harid dalam Tempo Edisi Khusus Kartini, April 2013.

Sebagian akademikus dan intelektual mempersoalkan begitu banyak surat Kartini yang dengan keras menentang poligami, toh akhirnya dia menikah dengan Bupati Rembang yang sudah memiliki tiga istri.

Tapi Hanung tidak masuk ke dalam kontroversi itu. Berbeda dengan Sjuman Djaya yang melukiskan Kartini hingga akhir hayatnya dan cukup detail mendeskripsikan bagaimana Kartini menghadapi para selir suaminya, Hanung berfokus pada obsesi Kartini terhadap pendidikan serta kritik keras pada pengekangan perempuan, poligami, dan perkawinan yang diatur.

Drama lebih difokuskan pada kemelut tradisi versus modern. Tradisi bangsawan Jawa versus trio Daun Semanggi yang kerap didukung sang ayah, yang lebih progresif meski sesekali bimbang. Belanda dalam film Hanung bukan pihak antagonis, karena tampaknya Hanung memilih drama keluarga. ”Kalau melawan orang luar, melawan Belanda, melawan kafir, itu biasa. Tapi di sini dia melawan orang-orang terdekatnya, melawan keluarga,” ucap Hanung.

Dalam film ini, Belanda tampil lebih sebagai kawan diskusi bagi Kartini, atau beberapa kali mereka adalah ”penolong” Kartini untuk lebih cepat keluar dari pingitan. Fokus seperti ini juga bisa menimbulkan kritik bagi mereka yang lebih menelaah sosok Kartini dari sisi sejarah.

Memang benar suami-istri Abendanon berjasa menerbitkan surat-surat yang terkumpul menjadi buku Door Duisternis Tot Licht (1911), yang kemudian diterjemahkan oleh Balai Pustaka menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang (1922). Tapi tentu saja pemilihan surat-surat yang diterbitkan dan yang disingkirkan bermakna politis. Ada beberapa surat Kartini yang kritis terhadap pemerintah Belanda.

Tapi ini adalah pilihan sineas karena, seperti yang dinyatakan Hanung, ”ini adalah film, bukan dokumen sejarah”. Seorang sutradara berhak menggunakan lisensi kreativitasnya, termasuk katakanlah menggunakan aktris yang dalam film ini sama sekali tak mirip Kartini, Kardinah, atau Rukmini dan lebih menekankan seni peran serta pendalaman arti feminisme Kartini. Hanung mengutamakan dramatisasi di beberapa tempat.

Sesekali dramatisasi itu menarik dan bahkan lucu, misalnya bagaimana trio Daun Semanggi doyan memanjat tembok dan berbincang tentang bagaimana perkawinan kelihatannya malah membawa sengsara bagi perempuan; bagaimana mereka dengan kompak saling menguatkan jika salah satu dipaksa menikah.

Ada saat Hanung berhasil menyajikan adegan-adegan menyentuh, terutama saat Kartini berdialog dengan kakak kesayangannya, Kartono, atau ketika dia pamitan kepada sang ibu kandung. Pada adegan intens yang tidak terlalu dramatis, Hanung justru selalu berhasil merebut hati, karena pada dasarnya aktor seperti Dian Sastrowardoyo, Reza Rahadian, dan Christine Hakim selalu masuk menjadi sang tokoh. Kehadiran mereka, dengan durasi sejenak atau lama, selalu mempengaruhi emosi adegan.

Belum lagi kemampuan Christine Hakim berdialog dengan bahasa Jawa dan Dian Sastrowardoyo dengan bahasa Belanda yang meyakinkan. Adegan paling penting, menurut saya, ketika Kartini bertanya kepada seorang kiai tentang ayat Quran yang membicarakan pendidikan. Adegan yang pendek, sederhana, tapi menunjukkan bahwa Kartini adalah perempuan yang haus pengetahuan dan akan selalu bertanya tentang apa saja yang dia ingin ketahui. Bukan hanya itu, dia juga seorang penulis andal, dan Hanung menunjukkan bagaimana artikel yang ditulis Kartini–akhirnya terbit dengan menggunakan nama ayahnya.

Sayang sekali, musik film ini dari ujung ke ujung seperti berlomba ”tampil” melebihi volume suara pemain; bukan mendukung adegan, malah kepingin menonjol. Keras, menyentak, dan mengganggu. Musik adalah paduan dari gambar dan dialog, bukan penghapus adegan. Hal lain yang juga mengganggu adalah tata cahaya yang selalu terang-benderang seperti pencahayaan drama televisi.

Kartini adalah sosok yang cerdas, berani, penuh emosi sekaligus lucu. Tata cahaya dalam film ini tidak mencerminkan atmosfer emosi Kartini ataupun para tokoh lain karena kita hampir selalu melihat cahaya yang terang-benderang.

Tapi keseluruhan, di luar penataan musik dan cahaya, film ini adalah hiburan yang menarik, yang penting untuk (sekali lagi) menjadi bahan diskusi tentang perempuan Indonesia.[] Sumber: Tempo

Editor: Junaidi Mulieng

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *