Penulis: Meria Ulfa
TIAP TAHUNNYA, di akhir bulan Safar (tahun Hijriah), sebagian besar masyarakat Aceh memenuhi pantai-pantai untuk merayakan Rabu Abeh. Meski akhir bulan Safar belum tentu hari Rabu, namun masyarakat tetap menyebutnya “Rabu Abeh”, hari penghabisan segala bala dan kemalangan.
Safar dianggap sebagai bulan pembawa sial atau bala. Tradisi ini dikenal dengan sebutan tulak bala atau tolak bala.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat, (tolak) yang berarti mengusir, sedangkan (bala) diartikan malapetaka, kesialan atau bencana. Jadi Tulak Bala secara umum dapat diartikan mengusir malapetaka atau kesialan.
Tulak Bala merupakan tradisi turun temurun warisan endatu yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, yang dipahami sebagai satu prosesi untuk mencegah segala bentuk bencana atau marabahaya.
Dahulu, perayaan Rabu Abeh dilalukan masyarakat Aceh dengan berbagai cara, seperti menghiasi sampan-sampan dengan bunga tujuh rupa, kemenyan-kemenyan dibakar. Berbagai macam lauk pauk khas Aceh ditata di dalam sampan, berserta kepala kerbau yang kemudian dihanyutkan ke laut sebagai bentuk persembahan agar dijauhkan dari segala bala.
Selain itu ritual
Rabu Abeh juga dilakukan dengan makan bersama di pinggir pantai. Setelah itu dilanjutkan dengan mandi kembang dan wangi-wangian bersama keluarga dan kerabat, sebagai simbol pembersihan diri dari segala bentuk dosa yang dapat mengundang bala.
Mandi laut dianggap dapat membersihkan tubuh dan jiwa dari seluruh aura negatif dan penyakit, serta sial yang akan terbawa bersama air laut.
Seiring perkembangan zaman, tradisi Rabu Abeh telah mengalami pergeseran. Bagi sebagian besar masyarakat Aceh, khsusnya Aceh Barat, Rabu Abeh tidak lagi bermakna sakral. Rabu Abeh hanya dilakukan sebatas hiburan dan rekreasi keluarga. Ritual-ritual yang dulu dilakukan, kini berganti hura-hura.
Islam dan Rabu Abeh
Menurut pandangan sejumlah cendekiawan muslim, Rabu Abeh merupakan tradisi yang dulu banyak diyakini oleh masyarakat jahiliyah kuno di Jazirah Arab, melalui asimilasi budaya yang terjadi ratusan tahun silam, saat pendakwah dari Arab mengunjungi Aceh. Tradisi tersebut mulai masuk dan kemudian menjadi bagian dari adat istiadat Aceh.
Dalam pandangan Islam ada dua pendapat mengenai Rabu Abeh yang saling bertolak belakang, yaitu setuju dan tidak setuju, percaya dan tidak percaya. Hal ini dikarenakan Islam selalu punya tafsir yang beragam dan kaya, sehingga saat ditanyakan mengenai Rabu Abeh menurut Islam maka ada banyak pendapat. Sebagian orang percaya bahwa bulan Safar adalah bulan pembawa bencana dan malapetaka, sehingga disunatkan salat.
Tetapi sebagian ulama juga berpendapat sebenarnya bulan Safar itu bukan bulan yang membawa mala petaka bagi masyarakat, karena bulan tersebut juga sama dengan bulan-bulan lain, hanya saja masyarakat terlalu yakin pada sejarah yang ditinggalkan oleh nenek moyang.
Jika dilihat dari sudut pandang Islam, perayaan Rabu Abeh yang dipraktekkan masyarakat Aceh zaman dulu, dengan melakukan persembahan yang dihanyutkan ke laut sangatlah dilarang. Hal ini sebagai bentuk kekufuran, menyekutakan Allah. Begitu juga halnya dengan pemaknaan Rabu Abeh yang dilakukan masyarakat saat ini. Islam tidak menyukai hura-hura. Bahkan ada ulama yang berpendapat, hura-hura yang dilakukan pada perayaan Rabu Abeh saat ini merupakan satu bentuk kekufuran zaman modern.
Masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat yang kental dengan nilai-nilai keislaman dalam kehidupannya. Bahkan setiap tradisi dan adat istiadat yang ada tak dapat dilepaskan dari Islam. Rabu Abeh merupakan satu tradisi para leluhur yang harus terus dijaga, namun tentunya dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Alangkah indahnya apabila Rabu Abeh dimaknai dengan zikri dan doa bersama, memohon kepada Allah agar dijauhkan dari segala malapetaka.**
*Penulis adalah mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh. Dapat dibubungi di meriaulfa03@gmail.com