Penulis: Fiandy Mauliansyah*
PENDIDIKAN adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No.20 Tahun 2003 Pasal 1).
Pendidikan mengandung pengertian suatu perbuatan yang disengaja untuk menjadikan manusia memiliki kualitas yang lebih baik. Dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan sebagainya. Hanya saja, pertanyaannya adalah pendidikan yang mana? Banyak stigma di tengah-tengah masyarakat bahwa pendidika ilmu sosial cenderung tidak banyak diminati oleh peserta didik. Hal ini berbeda dengan Ilmu Alam yang notabenanya sering dianggap keren “Geek” dimata masyarakat. Bahkan streotip bagi peserta didik pendidikan Ilmu Sosial kerap mendapatkan citra yang kurang baik. Padahal sebenarnya jika kita ingin menilisik lebih dalam sejarah kemunculan ilmu pertama kali di dunia ini di awali dengan fenomena sosial itu sendiri.
Dengan demikian pada akhirnya, keterampilan sosial menjadi salah satu faktor yang dikembangkan sebagai kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik. Keterampilan mencari, memilih, mengolah dan menggunakan informasi untuk memberdayakan diri serta keterampilan bekerjasama dengan kelompok yang majemuk nampaknya merupakan aspek yang sangat penting dimiliki oleh peserta didik yang kelak akan menjadi warga negara dewasa dan berpartisipasi aktif di era global.
Perkembangan era globalisasi sekarang ini telah berdampak pada perubahan segala aspek kehidupan. Mulai dari aspek ekonomi, budaya, hingga yang terlihat jelas ialah pada aspek sosial. Seiring dengan meningkatnya perkembangan zaman, sikap sosial masyarakat Indonesia saat ini telah banyak mengalami perubahan. Tidak hanya terjadi pada orang dewasa, melainkan juga terjadi pada anak-anak usia dini. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh semakin luasnya pengaruh budaya asing yang berkembang di Indonesia saat ini melalui berbagai macam sumber.
Anak-anak usia dini, khususnya anak Sekolah Dasar pada umumnya merupakan objek yang paling mudah terkena pengaruh-pengaruh dari luar, baik itu pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Sehingga perlu adanya keterlibatan antara pihak keluarga, sekolah dan juga lingkungan untuk membimbing, mendampingi, serta mengawasi setiap perkembangan sikap sosial pada anak. Orang tua hendaknya selalu memperhatikan perubahan sikap sosial dan mental anak selama anak berada di lingkungan keluarga.
Begitu juga dengan guru, hendaknya selalu membimbing dan mengarahkan anak didiknya menuju hal-hal yang positif. Pembentukan sikap sosial dasar pada anak bisa ditanamkan melalui pengamalan terhadap mata pelajaran tertentu yang berkaitan dengan aspek kehidupan sosial. Misalnya mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang berisi kajian-kajian konsep dasar IPS. Sehingga anak dapat mengembangkan sikap-sikap sosial dalam hidup bermasyarakat berawal dari sikap sosial dasar yang telah dikembangkan sejak usia dini.
Empat Tipe Ilmu Sosial
Tulisan ini bertolak dari pandangan bahwa penidikan ilmu sosial bukanlah ilmu pengetahuan yang tunggal. Bila kita mengajukan pertanyaan dasar “ilmu untuk apa” dan “ilmu untuk siapa”, maka akan muncul empat tipe ilmu sosial. Empat tipe ilmu sosial ini merupakan perluasan konsep empat tipe sosiologi yang diperkenalkan oleh Burawoy (2004).
Perluasan konsep ini penting mengingat sosiologi hanyalah salah satu ilmu sosial yang berfungsi sebagai lensa untuk memahami dan menjelaskan persoalan kemasyarakatan di Indonesia. Keempat tipe ilmu sosial tersebut adalah ilmu sosial profesional, ilmu sosial publik, ilmu sosial kebijakan, dan ilmu sosial kritis.
Perkembangan ilmu sosial yang sehat di suatu negara ditandai oleh keseimbangan yang saling melengkapi antar keempat tipe ilmu sosial tersebut. Keseimbangan ini diperlukan untuk mencegah terjadinya perkembangan berlebihan salah satu tipe dan mengorbankan tipe ilmu sosial yang lain. “Over-professionalisation” di Amerika Serikat dan “over-marketisation” di Rusia dalam ilmu sosial, misalnya, berturut-turut mengorbankan perkembangan ilmu sosial publik dan ilmu sosial profesional.
Over-professionalisation menuntut setiap ahli ilmu sosial memiliki tanggung jawab akademis dengan membuktikannya lewat publikasi yang sebelumnya telah dinilai oleh community of scholars di jurnal ilmiah. Sedangkan Over-marketisation ditandai dengan pertanggungjawaban ahli ilmu sosial bukan kepada community of scholars melainkan kepada pemberi pekerjaan penelitian baik kalangan pemerintah maupun swasta.
Idealnya, perkembangan ilmu sosial yang sehat di suatu negara ditandai oleh keseimbangan dinamis antar elemen-elemen ilmu sosial tersebut. Di dalam keseimbangan ini, ilmu sosial profesional memainkan peran penting sebagai tulang punggung perkembangan tipe ilmu sosial lain.
Taiwan, adalah contoh ideal dari negara yang mengalami perkembangan ilmu sosial yang sehat. Di bawah naungan asosiasi ilmu sosial setempat, para ahli ilmu sosial profesional melakukan serentetan penelitian di mana hasil penelitian tersebut bukan saja dipublikasi di jurnal internasional namun juga digunakan oleh pemerintah untuk menjalin kerjasama perdagangan dengan Cina (Mau-kuei Chang et al., 2010), dan menjalin kerjasama dengan lembaga swadaya setempat dalam program mendorong demokrasi. Taiwan adalah contoh ideal di mana ahli ilmu sosial profesional sekaligus menjadi ahli ilmu sosial kebijakan dan publik.
Ilmu Sosial di Indonesia
Dalam mempelajari ilmu sosial di Indonesia, kita perlu memfokuskan perhatian pada kekuatan (forces) dan kecenderungan (trends) perkembangan disiplin ilmu ini. Kekuatan menunjuk pada dominasi salah satu atau beberapa tipe disiplin ilmu, sedangkan kecenderungan, erat kaitannya dengan perkembangan signifikan dari kekuatan tersebut. Kekuatan dan kecenderungan selalu berkaitan dalam masyarakat moderen (Beck dan Beck-Gernsheim, 1995). Sebagai contoh, tipe ilmu sosial apa yang paling mendominasi dan bagaimana kecenderungannya di Indonesia. Dengan mempelajari kekuatan dan kecenderungan ini, kita dapat menilai kesinambungan dan perubahan ilmu sosial di Indonesia.
Dalam kaitan ini, pertanyaan penting yang patut diajukan adalah sebagai berikut. Apakah hubungan antar tipe-tipe ilmu sosial tersebut tetap sama atau telah berubah? Bila hubungan tersebut berubah maka perubahan ini dapat merembes dan memasuki wilayah kegiatan produksi pengetahuan sosial. Bila perubahan ini signifikan, maka akan terjadi perubahan mendasar pola-pola produksi keilmuan. Lanskap ilmu sosial di Indonesia telah mengalami perubahan.
Di masa Orde Baru, perkembangan ilmu sosial ditandai oleh hubungan yang kurang serasi antara ilmu sosial profesional dan ilmu sosial kebijakan disatu pihak dengan ilmu sosial kritis dan ilmu sosial publik di lain pihak. Mayoritas ilmuwan sosial dari universitas dengan kecanggihan metode penelitian dan analisa yang dimilikinya cenderung menggunakan paradigma modernisasi dan teori pertumbuhan ekonomi dalam menjelaskan perkembangan sosial, politik dan ekonomi.
Tidak sedikit ilmuwan sosial profesional ini berkecimpung di lembaga pemerintahan sebagai perancang dan pelaksana kebijakan ekonomi negara. Di kelompok profesional ini, juga muncul sejumlah ilmuwan sosial publik yang menyuarakan keprihatinan mengenai dampak negatif pembangunan ekonomi.
Perhimpunan keilmuan seperti Himpunan Pencinta dan Pemerhati Ilmu Sosial Indonesia (HIPPIS) menyuarakan keprihatinan ini dalam sidang tahunan. Lewat kongres dengan tema “Kemiskinan Struktural”, HIPIS menyerang kebijakan pembangunan ekonomi pemerintah Orde Baru yang mereka anggap kurang menaruh perhatian pada dimensi-dimensi kemanusiaan.
Pandangan ini tentu membawa pengaruh terhadap arah kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia. Pengaruh ini, sekalipun bukan satu-satunya, mendorong munculnya strategi pembangunan ekonomi yang lebih berorientasi pada pemerataan pendapatan. Ilmu sosial kritis dan ilmu sosial publik-organik berkembang di luar universitas. Mayoritas pendukung ilmu ini berasal dari lembaga swadaya masyarakat.
Dipengaruhi oleh paradigma ketergantungan, mereka mempersoalkan dasar-dasar asumsi paradigma modernisasi. Mereka juga bekerjasama dengan kelompok masyarakat melakukan penelitian dan rencana aksi bersama. Disamping itu, mereka juga menerbitkan jurnal dan buku yang membahas persoalan ketidakadilan sosial dan ekonomi yang dialami oleh masyarakat Indonesia (GanieRochman dan Achwan, 2005).
Ilmu sosial di masa Orde Baru ditandai oleh perkembangan yang menggairahkan antar tipe-tipe ilmu sosial. Namun, perkembangan ini tidak ditopang oleh hubungan yang erat antar mereka. Akibatnya semua tipe ilmu sosial tidak mengalami penyempurnaan ataupun pembaruan. Era Orde Baru juga ditandai, seperti dilaporkan oleh studi Evers dan Gerke, oleh kecilnya internasionalisasi hasil studi ilmuwan sosial Indonesia.
Di masa kini, di era demokrasi, produksi pengetahuan sosial mengalami “booming”. Perusahaan swasta dan organisasi politik dengan tujuan yang berbeda memerlukan jasa lembaga survai pendapat umum. Lembaga donor internasional memerlukan sarjana ilmu sosial untuk melakukan survai guna membantu pemerintah membangun pemerintahan yang baik.
Barangkali sudah ratusan juta dolar Amerika Serikat dikucurkan untuk mendatangkan sarjana ilmu sosial dari luar maupun dalam negeri untuk meneliti, melatih, dan melaksanakan program “Good Governance”.
Mass media juga memerlukan sarjana ilmu sosial sebagai pakar untuk membicarakan dan mendiskusikan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh Indonesia. Setiap malam, penonton Indonesia dapat menyaksikan perbincangan ini di hampir semua saluran televisi swasta.
Mendorong Orientasi Berfikir Ke Arah “Thinking Out of Box”
Ilmu pengetahuan sosial akan berkembang justru karena tidak mengenal kebenaran abadi. Oleh karena itu hasil penelitian sosial terdahulu perlu dikritik, disempurnakan atau ditolak oleh hasil penelitian sesudahnya.
Cara kerja yang bersifat skeptis ini hanya dapat dilakukan bila sarjana dan ahli ilmu sosial mengadopsi orientasi berfikir “thinking out of box”. “Thinking out of box” adalah cara berfikir melintasi teori dan konsep ilmu sosial Barat, serta melintasi peristiwa sosial di tingkat mikro maupun makro dalam proses penelitian.
Berfikir multi dialog dalam melaksanakan penelitian sosial menjadi tidak terelakkan (Burawoy, 2009). Peneliti perlu menggunakan teori atau konsep ilmu sosial Barat dalam proses penelitian. Namun keperluan ini bukan sepenuhnya untuk menerapkannya melainkan menjadi pedoman sekaligus mempertanyakan terus menerus kebenarannya lewat data yang dikumpulkan di lapangan. Misalnya,
Konsep modal sosial dari Barat sepenuhnya mengandalkan pada jaringan hubungan sosial antar individu dan kelompok.
Peneliti juga perlu berdialog – bukan sekedar melakukan wawancara mendalam – dengan kelompok masyarakat yang dipelajarinya. Berdialog berarti bersama-sama merumuskan isu atau peristiwa sosial yang menjadi perhatian utama di masyarakat.
Rumusan isu-isu tersebut dianalisa dengan memperhitungkan dinamika konteks makro atau kebijakan. Sebagai contoh, radikalisasi keagamaan dapat saja muncul bukan karena ideologi melainkan karena kesulitan kelompok sosial tertentu memperoleh akses di bidang ekonomi, politik dan pendidikan.
Kesulitan akses ini erat kaitannyadengan kebijakan ekonomi yang sedang berjalan.Pembenahan kelembagaan, dorongan orientasi “thinking out of box”, dan penguatan teknologi informasi merupakan tiga langkah penting kemunculan ilmu sosial di Indonesia khususnya di daerah. Bila langkah-langkah ini dijalankan dengan konsisten, Indonesia akan menyaksikan kemunculan ilmu sosial profesional yang kuat, yang mampu memperkaya dan memperbarui teori dan konsep ilmu sosial Barat.
Kuatnya tipe ilmu sosial ini akan memberi energi perkembangan ilmu sosial publik, ilmu sosial kebijakan, dan ilmu sosial kritis di Tanah Air. Semoga!
*Penulis Dosen Tetap di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UTU