Penetapan Titik Nol Islam Nusantara Tak Lewati Proses Akademis

oleh -268 views

Banda Aceh- Penetapan Barus sebagai titik nol Islam Nusantara, tidak melalui proses akademik dan penelitian ilmiah yang memadai. Bahkan dianggap bisa menyelewengkan sejarah. Bukti-bukti sejarah menunjukkan, Aceh sebagai pusat Islam ke Nusantara dan Asia Tenggara sulit dibantahkan.

Pembahasan tentang titik awal masuknya Islam ke Nusantara dibahas secara khusus dalam seminar internasional Masuknya Islam ke Nusantara. Pada seminar yang diadakan UIN Ar-Raniry Banda Aceh bekerjasama dengan Dinas Syariat Islam Aceh, Selasa, 5 Desember 2017, di Aula Asrama Haji, Banda Aceh.

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Farid Wajdi Ibrahim, yang tampil sebagai salah satu pembicara mengatakan, perdebatan dan kontroversi tentang penetapan titik nol Islam di Nusantara seharusnya sudah selesai. Diskusi-diskusi pada seminar internasional masuknya Islam ke Nusantara, hanya untuk meluruskan sejarah dan membuat rekomendasi tertulis kepada pemerintah.

“Semua sudah sepakat Aceh sebagai titik awal masuknya Islam ke Nusantara. Untuk apa kita menghabiskan energi lagi,” kata Farid, dalam pernyataan tertulis yang diterima Basajan.net, Rabu, 6 Desember 2017.

Selain, Farid Wajdi sejumlah narasumber lainnya juga berpendapat sama. Prof Oman Fathurrahman dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan Aceh sebagai pusat masuknya Islam ke Nusantara sulit dibantah dengan berbagai bukti dan temuan sejarah khususnya seperti manuskrip.

Hal senada juga diungkapkan, sejarawan Universitas Negeri Medan, Dr Phill Ichwan Azhari. Ia menyebutkan, pembahasan Barus muncul pertama di Indonesia pada seminar di Medan tahun 1963. Namun semua sepakat bahwa Aceh bukan hanya sebagai pusat Islam pertama di Nusantara, tapi juga di Asia Tenggara.

“Jika arus politik sejarah nol Kilometer Barus terus berjalan tanpa penantangan, maka akan muncul episode baru, Barus menjadi sejarah Nasional masuknya Islam ke Indonesia tanpa adanya bukti akademis,” kata Ichwan.

Sementara itu, Dr Teungku Ajidar Matsyah, yang tampil pada sesi akhir mengatakan, posisi Barus yang dulunya termasuk dalam wilayah Aceh merupakan kota penghasil kapur Barus terbaik di dunia saat itu, bukan sebagai gate way Islam masuk ke Nusantara. Meski diakui adanya komunitas muslim yang sampai ke Barus, lalu kemudian bermukim di Barus dan meninggal di sana.

Menurutnya, Barus tetap sebagai kota penghasil kapur Barus dan belum ada bukti kuat sebagai titik nol Islam Nusantara. Keberadaan makam-makam kuno di Labau Tua Barus hanya sebatas bukti adanya komunitas muslim yang sampai ke sana. Namun mereka bukan yang terawal, bahkan ada asumsi yang menyebutkan bahwa mereka berasal dari Peurelak atau Pasai yang hijrah ke Barus.

Menurutnya, penetapan Barus sebagai titik nol tidak melalui proses akademik dan penelitian yang memadai.

“Penetapan Barus sebagai titik nol dapat mengarah kepada Inhiraf al-tarikh (penyelewawengan sejarah), kata Ajidar, sejarawan Aceh yang juga dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Seminar tersebut telah menghasilkan rekomendasi untuk pemerintah pusat dan daerah, sebagai berikut:

Untuk Pemerintah Pusat

1. Meninjau kembali penetapan Barus (Tapanuli Tengah) sebagai Titik Nol Peradaban Islam Nusantara.

2. Dalam rangka penanaman pengetahuan kepada para generasi muda tentang sejarah kedatangan dan berkembangnya peradaban Islam di Nusantara, maka Pemerintah Republik Indonesia perlu menyusun kurikulum mengenai hal itu, sehingga sejarah tentang kedatangan dan berkembangnya peradaban Islam di Nusantara dapat dipelajari secara benar dan formal di sekolah.

Untuk Pemerintah Aceh
1. Dalam upaya peningkatan pemahaman dan pengetahuan kepada masyarakat terhadap sejarah kedatangan dan berkembangnya peradaban Islam di Nusantara, maka Pemerintah Aceh perlu membangun Museum Peradaban Islam di Banda Aceh sebagai ibu kota Provinsi Aceh.

2. Untuk menghilangkan perdebatan titik awal kedatangan Islam di Nusantara, maka Pemerintah Aceh perlu membangun sebuah Monumen Titik Nol Islam di Nusantara yang bertempat di Peureulak,  Aceh Timur.

Rekomendasi tersebut dirumuskan oleh Nasruddin As, Syarifuddin, Bustami Abubakar, Ajidar Matsyah, Kamaruzzaman Bustamam, Yarmen Dinamika dan Nizami Taufik. Ditanda tangani Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Munawar A. Djalil dan Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh Farid Wajdi Ibrahim. []

 

Editor: Junaidi Mulieng

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *