Pasca Amputasi Kondisi Beruang Madu Membaik

oleh -208 views

Banda Aceh- Kondisi beruang madu atau helarctos malayanus yang diamputasi tangan kanannya di Klinik Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dalam kondisi membaik. Bahkan, nafsu makannya meningkat selama proses karantina di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh.

“Tangan kanan beruang betina yang terkena jerat babi di Aceh Utara itu harus diamputasi, karena mulai membusuk dan tinggal tulang. Jadi tidak bisa diselamatkan. Sedangkan kaki kiri yang juga terluka parah, membutuhkan penangganan serius,” ungkap Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo, Sabtu 29 April 2017.

Menurut dia, pergerakan beruang madu masih terbatas, akibat pengaruh obat bius. Proses pembedahan selesai dilakukan sekitar pukul 16.30 WIB. Ketika tiba di pusat konservasi BKSDA Aceh, beruang madu berjenis kelamin betina itu masih dalam kondisi pingsan.

“Beruang madu itu masih tidak terlalu agresif dan aktif. Tentu kami harap begitu, kami khawatir bisa berakibat fatal pada proses recovery bekas amputasi. Sehingga kami juga menempatkan beruang dalam kandang yang tertutup terpal, agar tidak terganggu dan membuatnya panik,” terangnya.

Sapto menambahkan, nafsu makan beruang madu juga membaik. Bahkan sejak dikarantina di kandang BKSDA Aceh, beruang madu diberi makan pepaya, pisang dan buah-buahan lainnya, sehingga pola makannya terkontrol.

“Nafsu makannya sudah cukup bagus. Dari sejak dibawa ke sini, cukup banyak makan. Jadi dengan begitu, kami harapkan dia cepat pulih,” paparnya.

Tim dokter FKH Unsyiah juga akan terus memantau perkembangan beruang secara rutin. Memastikan asupan gizi beruang terpenuhi hingga proses pemulihan akan berlangsung normal.

“Dokter akan terus memantau, kami percayakan pada dokter untuk penanganannya. Perlahan mulai terlihat perubahan,” sebutnya.

Berdasarkan data BKSDA Aceh, populasi beruang madu di Aceh masih banyak. Namun katena degradasi habitatnya yang cukup tinggi, sehingga konflik dengan manusia sering terjadi.

BKSDA Aceh mencatat, dalam empat bulan terakhir, terdapat empat kasus konflik manusia dengan beruang yang terjadi di beberapa kabupaten/kota di Aceh.

“Ada yang menyerang ternak dan masuk ke perkampungan. Namun, jika kasus yang sedang ditangani ini, karena terjerat jebakan babi yang dipasang oleh masyarakat di dekat habitatanya,” ujarnya.

Sapto menyebutkan, konflik manusia dengan beruang akibat kerusakan habitat, sehingga satwa menyebar ke pemukiman warga, akibat pasokan makananya telah berkurang di pedalaman hutan Aceh. Kebijakan BKSDA Aceh dalam penangganan kasus tersebut tidak sampai ke jalur hukum.

“Konteksnya mereka bukan berburu. Namun karena ada perusakan habitat, kemudian satwa kekurangan makanan, sehingga beruang turun mencari makan ke permukiman warga. Jadi selama masih bisa dilakukan secara persuasif atau pendekatan, jika ditangkap mau menyerahkannya. Kami tidak akan melakukan proses hukum,” lanjutnya.

Namun jika kasusnya sudah masuk ke ranah perdagangan atau masyarakat tidak bersedia menyerahkan secara sukarela, maka akan diproses secara hukum.

“Untuk beruang belum ada kasus yang diproses secara hukum. Namun, untuk satwa liar dilindungi lainnya tetap akan proses hukum jika melawan dan tidak mau menyerahkannya. Apalagi sudah terindentifikasi ke ranah perdagangan. Kami akan bersikap tegas,” pungkasnya.[] Sumber: Mediaindonesia.com

Editor: Junaidi Mulieng

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *