BASAJAN.Net, DOVOS – Di saat negara-negara lain, termasuk Indonesia, baru menuju era 4.0, Jepang sudah ngacir terlebih dahulu ke era 5.0. Digitalisasi yang mereka lakukan bukan hanya di sektor industri, tetapi juga masuk ke segala aspek kehidupan manusia.
Di Jepang, visi era Supersmart Society 5.0 ini sudah digodok sejak 2016. Lalu diperkenalkan ke masyarakat global oleh Perdana Menteri Shinzo Abe pada 2017, dan sekarang sudah menjadi platform resmi kebijakan pemerintah.
Seperti dilansir Reuters, dalam ajang World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, pada Rabu 23 Januari 2019, Abe mengatakan negaranya menghadapi masalah besar sehingga dibutuhkan terobosan luar biasa untuk memulihkan perekonomian, membangkitkan optimisme rakyat, dan kembali terdepan dalam persaingan global.
Menurut Abe, masalah utama Jepang adalah populasi yang menua. Sekira 26 persen penduduk Jepang berusia di atas 65 tahun. Kondisi itu membuat Jepang kekurangan tenaga kerja produktif dan menebarkan pesimisme di masyarakat.
“Lima tahun lalu, tembok keputusasaan, tembok pesimisme. Sejak saat itu, populasi usia kerja kami anjlok 4,5 juta orang,” ujar Abe.
Pemerintah kemudian meluncurkan kebijakan meningkatkan partisipasi perempuan dalam tenaga kerja dan dilakukan legislasi yang membuka pintu bagi lebih banyak tenaga kerja asing.
Tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan dalam program “Womenomics” ini kemudian mencapai rekor tertinggi 67 persen dan melampaui Amerika Serikat, dan jumlah tenaga kerja perempuan bertambah sebanyak 2 juta orang. Selain itu, jumlah tenaga kerja berusia di atas 65 tahun juga bertambah 2 juta orang.
Dari setiap 100 sarjana yang mencari kerja saat ini, 98 mendapatkannya. Siklus umpan balik yang positif dan lama ditunggu sudah menemukan akar masalahnya.
“Dengan pertumbuhan lapangan kerja dan pendapatan yang memicu permintaan lebih besar dan kemudian membuka lapangan kerja lebih banyak lagi,” ucap Abe.[]
SUMBER: OKEZONE
EDITOR: JUNAIDI MULIENG