Mengenang Aceh dari Syamtalira

oleh -801 views

“Dalam surga terdapat sebuah ayunan. Berayun-ayun berputar-putar. Siapa yang dapat naik ke dalam ayunan tersebut selamat iman di dalam dada.” -Blurb

 

Judul Buku: Syamtalira, Crueb, Up, and Run 

Penulis: Mellyan Keumala Nyakman

Penerbit: Madza Malang

Tahun: 2015

Tebal: vii+159 halaman

ISBN: 978-602-0882-13-0

 

 Aceh dan konflik merupakan dua hal yang paling dekat dengan penulis asal Aceh. Begitupun dengan penulis kelahiran Meulaboh, 19 Oktober 1987 ini. Beberapa karyanya yang lain juga berkaitan dengan perempuan dan Aceh. Ia identik dengan artikel bertemakan perempuan di media massa. Salah satu buku yang sudah terbit dalam skala nasional berjudul Syamtalira, Crueb, and Run.

Buku kali ini berupa novel yang bersetting di Aceh bagian utara. Bercerita tentang Aceh dari tokoh Dzhahir kecil hingga dewasa. Ia adalah korban dan saksi dari rumitnya konflik Aceh jelang kesudahan. Dzhahir adalah salah satu anak yang lahir dalam dan besar di bawah tekanan konflik ini. Namun seperti kebanyakan anak Aceh lainnya, Dzhahir kecil tetap bersekolah dan mengaji di dayah.

Kesulitan hidup ketika konflik juga mengarahkan Dzhahir menjadi anak yang kreatif dan pantang menyerah dalam bertahan hidup. Di usia yang sangat dini, dia tahu caranya menambah uang saku tanpa harus menengadahkan tangan pada orang tua. Memiliki uang jajan adalah kelangkaan bagi sebagian besar penduduk Syamtalira pada masa ini. Sebagai pemuda yang berdarah panas, berbagai tantangan berbahaya juga menggoda  untuk ditaklukkan.

Dzhahir adalah Dzhahir, sekalipun godaan begitu kuat, kata-kata orang tua tidak dia bantah. Beberapa larangan orang tuanya selalu menyampingkan ia dari maut di ujung senapan. Ataupun sekedar siksaan di bawah sepatu lars orang-orang seragam. Dia menyadari apapun yang disampaikan oleh orang tuanya tidak pernah salah. Beberapa kejadian berujung pada nasib naas terjadi pada teman-temannya. Di saat dia mulai mengerti hidup yang mereka hadapi bukan permainan.

Ketika Dzhahir beranjak dewasa pun, dia mengerti banyak hal. Dua diantaranya perjuangan dan cinta. Dia kehilangan paman yang kerap bercerita tentang kejayaan Aceh di masa lalu dan selalu memompa semangat Dzhahir untuk mengembalikan kejayaan tersebut. Ketika sang paman menghilang, dia tahu mereka sedang berjuang dengan caranya. Ketika dia bertemu dengan Buleun, perempuan yang mencuri hatinya, dia kembali mengerti arti dari perjuangan lainnya. Cinta juga harus diperjuangkan.

Buleun mengantarkan Dzhahir kepada pertaruhan mimpi untuk kuliah di bAnda Aceh demi hidup berdampingan dengannya.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Baru beberapa saat Dzhahir di Banda Aceh, Buleun dikabarkan meninggal karena tekanan batin. Dia tidak sanggup menanggung beban akibat perjodohan yang dilakukan oleh keluarganya. Dzhahir sempat patah semangat. Tapi impiannya tetap berlanjut. Dia melanjutkan kuliah dan terus berbenah diri.

Sampai pada tanggal 26 Desember 2004, ie beuna yang lebih dikenal dengan tsunami menyapu Aceh. Termasuk kampus tempat Dzhahir kuliah. Di sisi lain, tsunami juga membawa berkah untuk Dzhahir.

Secara khusus Syamtalira berkisah tentang sisi yang umum dialami oleh pemuda Aceh. Ketika Aceh diamuk konflik, disapu tsunami, dan didandani oleh lembaga swadaya asing.

Crueb, Run, and Up mengarahkan kepada kondisi Aceh di Syamtalira dengan tokoh utama Dzhahir. Secara pribadi saya menyukai judul ini. Menggambarkan kekhususan dan memancing rasa penasaran pembaca.

Gaya bahasa Mellyan memiliki ciri khas khusus sebagai penulis dengan latar belakang jurnalis. Lama bergelut di jurnalistik dan menulis dengan jenis karya feature, membiasakan penulis dalam penggalian data. Jangan heran jika data-data tentang sejarah Aceh sangat banyak di novel ini.

Meskipun begitu, Mellyan tanpaknya terlena dalam menyajikan data temuannya. Sehingga pemaparan sejarah  Aceh terbawa seperti menulis feature. Khususnya di bab yang bercerita tentang Samudera Pasai. Pembaca yang kurang menyadari sejarah akan merasa sedikit jenuh dengan pemaparan kejayaan Aceh di masa lalu. Bagi pecinta sejarah justru sebaliknya, pembaca seperti menemukan harta karun tak bernilai. Dan dia akan terlupa sedang membaca novel.

Secara teknis, jenis dan ukuran font tidak melelahkan mata. Bagi yang tidak suka membaca pun bisa bertahan lebih lama ketika membaca.

Ada banyak kutipan berupa ungkapan, hadih maja, dan hikayat di seluruh bab. Setiap bab dibuka dengan salah satu kutipan yang identik dengan ciri khas Aceh dan cerita terkait.

Di hampir semua halaman, tata letaknya cukup baik. Bagian paling menyebalkan justru terletak di halaman “tentang penulis”. Hanya biodata penulis yang lebih cocok ditulis di daftar riwayat hidup. Bukan biodata narasi yang umumnya ditulis di buku. Biodata penulis lebih bagus jika ditulis dalam bentuk biodata narasi.

Ilustrasi halaman sampul di mata saya sama sekali tidak menggambarkan isi buku. Ilustrasi yang dipilih seperti foto pribadi terbaik yang dipajang untuk popularitas saja. Jika buku ini sebuah biografi, ilustrasinya cukup menarik. Bagian ini justru memberi penilaian khusus buat saya, ini buku terbitan indie. Meskipun buku ini bukan buku yang diterbitkan secara indie.

Meskipun beberapa kekurangan di atas cukup mengganggu. Buku ini layak cetak ulang. Tidak banyai novel di pasaran yang membahas tentang Aceh dan segala polemik masa lalu. Tentu saja, dengan sedikit revisi.(*)

 

Penulis: Ulfa Khairina