KKM Satu Solusi Turunkan Angka Kemiskinan di Aceh

oleh -720 views
KKM Satu Solusi Turunkan Angka Kemiskinan di Aceh
FOTO: ILUSTRASI/PATAS.ID

Oleh: Aduwina Pakeh, M.Sc*

Sistem ini berbeda dengan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang dikeluarkan pemerintah Pusat. Kenyataan pada hari ini masyarakat seakan-akan berlomba-lomba untuk mendapatkan Kartu Keluarga Sejahtera. Dari namanya saja terkesan pemilik kartu itu adalah calon orang sejahtera karena kartu KKS itu memiliki banyak kelebihan atau keunggulan.

 

Dalam UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin disebutkan Penanganan Fakir Miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga.

Pemerintah Republik Indonesia sejak pasca Kemerdekaan Tahun 1945 hingga sekarang, berbagai program dan kebijakan telah dibuat untuk menangani fakir miskin, artinya untuk menekan angka kemiskinan. Pergantian kepemimpinan baik di tingkat nasional maupun di daerah selalu diiming-imingi akan adanya perubahan, khususnya bagi masyarakat miskin berubah untuk mencapai kesejahteraan. Namun, puluhan program yang telah dikucurkan pemerintah seakan-akan belum menjawab akan permasalahan kemiskinan yang terus melanda rakyat Indonesia, tak terkecuali Aceh.

Merujuk data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah Masyarakat Miskin di Indonesia mencapai 25,95 juta orang (Maret 2018) dari total 261,89 Juta jiwa. Untuk Aceh sendiri terdapat sebanyak 839 ribu orang masyarakat miskin dari total penduduk 5,18 juta jiwa.

Sedangkan untuk jumlah masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Barat, berdasarkan data Basis Data Terpadu (BDT) yang juga bersumber dari BPS sebanyak 19.948 KK dari total 49.983 KK atau dari total 201.682 jiwa (2017). Khusus untuk Kabupaten Aceh Barat jika merujuk data BPS, maka persentase Kemiskinan mencapai Angka 39,9% (Tiga Puluh Sembilan Koma Sembilan Persen). Namun angka berbeda jika merujuk sumber data dari Disdukcapil Aceh Barat di tahun yang sama, di mana jumlah total penduduk Aceh Barat hanya 189.119 jiwa, namun jumlah KK lebih banyak ketimbang sumber BPS yaitu sebanyak 57 ribu KK.

Berpengalaman sebagai Pendamping Bantuan Sosial Pangan Kementerian Sosial RI (2018-2019), saya mendapatkan beragam data dan model program yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat lewat Kementerian Sosial RI kepada masyarakat di daerah. Sebut saja Program Keluarga Harapan (PKH), Program Bantuan Sosial Beras Sejahtera (RASTRA) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Sosial Reguler seperti KUBE, UEB, RUTILAHU, SARLING, dan berbagai program lainnya. Belum lagi ditambah dengan inovasi program penanganan fakir miskin di daerah, baik provinsi maupun kabupaten (rumah dhuafa, bantuan ZIS dll). Semua program itu sasarannya adalah masyarakat miskin yang terdata dalam Basis Data Terpadu (BDT) yang dikeluarkan berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI.

Namun, beragam permasalahan muncul di lapangan, seperti adanya masyarakat miskin yang tidak mendapatkan bantuan sosial dalam bentuk apa pun. Namun sebaliknya, ada masyarakat sejahtera malah mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Ini adalah permasalahan klasik yang sering terjadi hampir di setiap daerah. Belum lagi masalah-masalah lain yang sangat banyak setelah didata oleh pendamping dari berbagai program di lapangan.

Untuk permasalahan tidak tepat sasaran, menjadi masalah akut yang dihadapi di lapangan, terlebih perubahan masyarakat begitu cepat. Dalam rentang tiga tahun, begitu banyak masyarakat yang sebelumnya miskin menjadi sejahtera. Namun sebaliknya juga, ditemukan masyarakat yang sebelumnya sejahtera menjadi miskin.

Persoalan ini bermuara pada data yang dimiliki oleh masing-masing instansi. BPS sebagai lembaga yang paling berwenang mengeluarkan data memiliki sistem pendataan yang komprehensif, namun masih juga ditemukan masyarakat miskin yang tidak terdata. Begitu pun, data yang dimiliki oleh pemerintah (Dinsos, BAPPEDA, Baitul Mal, dll) kadangkala juga berbeda dengan data yang di pegang oleh keuchik gampong yang berhubungan langsung dengan masyarakat.

 

KKM Sebagai Solusi

Maka untuk menyelesaikan masalah data dan menciptakan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat, terutama masyarakat miskin (yang selama ini terabaikan karena sistem), saya mengusulkan sebuah wacana. Wacana ini bisa didiskusikan agar mendapatkan format yang benar dan terukur, sehingga ke depan lebih banyak masyarakat miskin yang terbantu. Selain itu juga dapat menghadirkan rasa empati dan kesadaran dari masyarakat miskin yang sudah sejahtera, untuk keluar dari program binaan pemerintah secara mandiri.

Wacana ini berupa melahirkan “Kartu Keluarga Miskin” atau KKM. Sistem ini berbeda dengan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang dikeluarkan pemerintah Pusat. Kenyataan pada hari ini masyarakat seakan-akan berlomba-lomba untuk mendapatkan Kartu Keluarga Sejahtera. Dari namanya saja terkesan pemilik kartu itu adalah calon orang sejahtera karena kartu KKS itu memiliki banyak kelebihan atau keunggulan, seperti memiliki fitur keuangan dan fitur tabungan, sehingga dapat digunakan untuk penarikan tunai Bansos PKH dan transaksi pembelian barang seperti beras, gula, LPG, dan lain-lain. Selain itu, produk KKS merupakan produk perbankan Laku Pandai atau LKD.

KKM dapat dikeluarkan oleh Bupati Kabupaten setempat. Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk melahirkan sebuah data yang selanjutnya diaplikasikan dalam bentuk kartu adalah sebagai berikut:

  1. Pemerintah Kabupaten (Bupati) mengeluarkan sebuah kebijakan untuk pendataan masyarakat miskin yang melibatkan Bappeda, Dinsos, Disdukcapil, DPMG, TPN2K, BPS dan Pemerintah Gampong. Kebijakan itu bisa berupa SK, Surat Edaran dan lain-lain.
  1. Pendataan tahap awal dilakukan di gampong lewat Musyawarah Desa (Mudes), dalam Mudes tersebut akan dilakukan perangkingan masyarakat miskin (Sangat Miskin, Miskin, Pra Sejahtera). Mudes harus melibatkan segenap stakeholder yang ada di desa.
  1. Hasil keputusan Mudes harus dilakukan uji publik, dengan cara data tersebut ditempel di tempat terbuka yang mudah dijangkau oleh masyarakat umum, di sini diperlukan partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat.
  1. Setelah di uji publik, data tersebut dikirimkan ke Dinas Sosial, namun sebelumnya sudah mendapatkan pengesahan dari camat.
  1. Setelah direkap oleh Dinas Sosial, data tersebut kembali diverifikasi dan validasi ke lapangan dengan menggunakan indikator yang jelas untuk menghasilkan data BDT.
  1. Hasil verifikasi dan validasi Dinsos akan diserahkan ke Bupati untuk mendapatkan pengesahan.
  1. Data yang sudah mendapatkan pengesahan Bupati akan dimasukkan dalam sistem SIK-NG yang terhubung langsung dengan Pusdatin Kementerian Sosial.
  1. Kementerian sosial selanjutnya akan mengeluarkan keputusan untuk BDT dan juga daftar penerima Bansos Pangan (RASTRA & BPNT), data penerima PKH dan program lainnya.

Dalam pelaksanaannya, ada hal yang harus ditambah oleh pemerintah daerah, yaitu hasil data yang sudah disahkan oleh Bupati harus dibuat kartu, sehingga semua yang masuk dalam data BDT mendapatkan Kartu Keluarga Miskin (KKM).

Untuk membedakan tingkatan miskin, KKM dapat dibagi dalam varian warna berbeda. Misal, merah (15%) adalah masyarakat yang paling miskin; warna kuning (25%) adalah masyarakat miskin dan hijau (40%) yaitu masyarakat prasejahtera.

Model kartu dibagi dua, satu kartu yang diberikan kepada keluarga seukuran KTP dan yang kedua kartu ukuran besar yang ditempel di depan rumah (pintu rumah). Penerima kartu merah atau rumah yang ditempel kartu merah menunjukkan bahwa itu adalah keluarga yang sangat miskin.

Secara psikologis, kita ingin ada usaha dari masyarakat untuk berlomba-lomba keluar dari kartu merah. Jadi jangan berbangga hati ketika mendapatkan kartu warna merah, walau secara materi pemegang kartu merah mendapatkan semua jenis bantuan sosial yang diberikan pemerintah.

Kartu akan dibagikan secara simbolis oleh Bupati kepada masyarakat. Hal yang sama juga berlaku saat penempelan dan pencabutan kartu warna merah di dinding rumah warga, yang beralih ke warna kuning atau dari warna kuning ke warna hijau, juga dilakukan secara simbolis oleh Bupati. Baru kemudian penempelan dan pembukaan kartu dilakukan oleh aparatur gampong bersama pendamping program di lapangan.

Bisa dibayangkan, mungkin setiap bulan ada masyarakat yang rumahnya terbebas dari kartu warna merah, kuning dan hijau. Akumulasi di akhir tahun akan jelas kelihatan dari laporan keuchik ke bupati lewat Dinas Sosial. Berapa persen angka kemiskinan menurun di kabupaten, bisa dilihat dari setiap gampong. Indikator tercapainya  pembangunan dan kesejahteraan dapat dinilai dari berkurangnya angka kemiskinan.

Pemerintah daerah sesuai kemampuan yang dimiliki, bisa mengalokasikan dana 100-200 ribu per bulan untuk setiap penerima kartu berwarna merah. Hal itu sebagai bentuk dukungan nyata dari pemerintah, agar masyarakat segara beranjak meninggalkan status paling miskin.

 

*Penulis adalah Dosen Prodi Sosiologi FISIP UTU, pernah dua tahun berpengalaman sebagai  pendamping sosial Kemensos RI untuk Kabupaten Aceh Barat (2018-2019). Email : aduwina@utu.ac.id.

 Isi tulisan sepenuhnya tanggungjawab penulis.

 

EDITOR: JUNAIDI MULIENG

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.