Penulis: Ariski Septian
DALAM SATU SESI perkuliahan di Pascasarjana Universitas Syiah Kuala baru-baru ini, membahas mengenai perilaku pendidikan di Aceh. Di tengah diskusi, dosen memberikan gambaran tentang potret pelaksanaan pembelajaran di Aceh.
Dalam kuliahnya itu, dosen tersebut menganalogikan sebuah filosofi praktek pembelajaran yang lazim terjadi baik di sekolah, dayah, bahkan perguruan tinggi sejak dulu hingga kini.
Sebagai daerah yang sangat potensial, bertajuk Seramoe Mekkah, Ia menganalogikan pendidikan di Aceh bagaikan Kendi (cerek), Air dan Cangkir (muk).
Analogi Kendi, Air dan Cangkir
Kendi adalah tempat air seperti teko, terbuat dari tanah liat. Menurut laman Wikipedia, sebutan kendi di Indonesia bermacam-macam. Di Padang, wadah ini disebut labu tanah, di Jawa ada yang menyebutnya gogok. Di Aceh, kendi dikenal dengan nama geupet bah laboh.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kendi berarti tempat air bercerat (dibuat dari tanah). Kendi digunakan sebagian masyarakat sebagai wadah penyimpanan air minum, agar air tetap dingin sepanjang hari.
Dalam filosofi pendidikan, kendi dapat dianalogikan sebagai guru, yang berarti wadah atau tempat berhimpunnya segala bentuk pengetahuan. Seperti halnya kendi, yang dapat mendinginkan air sepanjang hari, karena unsur tanah dan segala bentuk kelebihannya, begitu pula hal dengan guru. Setiap ucapan, tindakan, sifat dan tingkah lakunya, haruslah senantiasa menjadi teladan bagi murid-muridnya.
Air. Unsur ini merupakan sumber penghidupan. Kita sudah tentu dapat membayangkan, apa jadinya bumi ini tanpa air. Gersang dan tandus.
Besarnya peranan air, dapat dianalogikan sebagai ilmu. Merupakan kewajiban dan kebutuhan bagi umat manusia untuk terus belajar, sebagai proses mendapatkan ilmu. Sehingga hati dan pikiran dapat bekerja secara maksimal dalam membangun peradaban.
Ilmu pada hakikatnya dapat diperoleh seseorang dari orang lain, yang biasa disebut guru. Laksana air dalam kendi, dalam diri seorang gurulah ilmu bersarang.
Sedangkan cangkir adalah mangkuk kecil bertelinga yang biasa digunakan sebagai tempat minum. Bentuk dan jenisnya beragam. Bagian atasnya terbuka, untuk memudahkan ketika air dituang, maupun saat diminum.
Jika dianalogikan dalam filosofi pendidikan, cangkir diibaratkan sebagai murid, santri, siswa, mahasiswa dan sebutan lainnya. Mereka ini lah nantinya akan menerima isian ilmu dalam dirinya dari seorang guru.
Ketika air di dalam kendi dituang, secara alamiah, apa pun kandungan yang ada dalam air, seperti itulah yang terisi ke dalam cangkir. Jika dalam kendi terisi air bercampur gula, maka yang tertuang ke dalam gelas adalah air manis atau air gula. Bila air dalam kendi dicampur kopi, maka yang tertuang dalam cangkir, air hitam yang rasanya pahit. Begitu pula seterusnya.
Pendidikan Aceh
Kejayaan Aceh pada abad ke-16, tak terlepas dari peranan penting pendidikan yang diprakarsai oleh para ulama dan cerdik pandai ketika itu.
Proses transfer ilmu pengetahuan kala itu, ibarat tuangan air-air bening nan sejuk dari para ulama (guru) kepada masyarakat (murid-muridnya). Ilmu yang didapat kemudian dipahami dan diamalkan oleh tiap murid. Tanpa bantahan, maupun penolakan.
Dalam konsep pendidikan, model seperti itu lebih dikenal dengan sebutan Teacher Centered Learning (TCL). Dimana dalam proses pembelajaran, terpusat pada guru sebagai sumber ilmu utama. Guru lebih berperan aktif dalam proses transfer pengetahuan. Apa yang guru sampaikan, itulah kebenaran.
Kondisi zaman terus berubah. Apa yang dipraktekkan seorang guru di masa lalu, sudah tidak tepat jika diterapkan pada masa di mana akses informasi begitu cepat dan mudah, seperti sekarang. Sehingga tak heran, jika ada murid yang lebih duluan tahu tentang sesuatu dibanding gurunya. Apa yang diperlukan, semua informasi ada dalam genggaman.
Kemudahan mengakses informasi di era teknologi ini, banyak melahirkan pakar-pakar dalam berbagai bidang kajian. Tak sedikit di antara mereka yang masih berusia muda, dengan masa pendidikan yang ditempuh pun relatif singkat. Dia mampu mengungguli kemampuan gurunya di masa lalu. Tiap orang bebas untuk mengkaji berbagai bidang keilmuan, sehingga perbedaan penafsiran dalam menyampaikan ilmu pengetahuan pun sering terjadi.
Tiap orang, termasuk murid dibenarkan untuk memiliki pandangan berbeda dengan gurunya. Bahkan mendebat jika perlu.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi model belajar TCL tak lagi berjalan. Diantaranya, budaya belajar murid saat ini cenderung bergantung dengan informasi digital ketimbang guru. Rasa penasaran murid terhadap ilmu pengetahuan bisa dengan mudah terpuaskan, tanpa harus menunggu jawaban dari guru.
Dengan mengakses berbagai situs di internet dan sumber-sumber lainnya, apa yang belum didapat dari guru bisa didapat dalam waktu singkat. Teknologi adalah gurunya.
Banyak pelajar-pelajar muda Aceh yang sudah menghasilkan konsep, bahkan karya-karya yang mendunia. Namun, guru yang menjadi sumber ilmu sudah tak mampu memuaskan rasa penasaran mereka. Persaingan yang semakin terbuka, sudah tak memungkinkan lagi murid menunggu informasi dari guru di sekolah.
Kondisi ini pula yang kemudian menggerakkan pemerintah untuk mengubah kebijakan dan sistem pendidikan di Indonesia.
Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 Pasal 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Tentu untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri pelajar tak dapat dilakukan jika hanya mengandalkan pembelajaran dalam kelas. Proses pembelajaran harus dibarengi pengenalan pengalaman lapangan. Hal ini akan lebih memberikan keleluasaan bagi pelajar untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan potensinya.
Tuntutan ini memaksa tenaga pendidik untuk mengerahkan segala upaya agar tujuan dari proses pendidikan dapat tercapai. Kini banyak pendidik yang gandrung melakukan pembelajaran di luar kelas. Bahkan tak jarang taman, pantai bahkan warung pun sering dijadikan tempat untuk mentrasfer pengetahuan.
Jika melihat kondisi pendidikan dengan model pembelajaran yang digambarkan di atas, maka analogi kendi, air dan cangkir dalam proses transfer pengetahuan sudah tidak tepat lagi. Duni pendidikan hari ini menuntut lebih dari itu. Air dalam kendi tak dapat dituang serta merta begitu saja ke dalam cangkir, karena bisa saja cangkir sudah duluan penuh terisi.
Dengan perubahan zaman seperti saat ini, sudah selayaknya pola belajar yang diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan kita, diubah ke arah yang lebih kreatif dan inovatif. Dengan begitu, karakter peserta didik benar-benar akan terbentuk sebagai pribadi yang tangguh dengan pengetahuan memadai, bertanggungjawab dan bermoral.
Sudah seharusnya, cangkir kita hadapkan pada berbagai sumber air yang lebih besar. Bukan hanya berharap pada satu kendi, terlebih satu jenis air pula.***
* Mahasiswa Program Magister Administrasi Pendidikan, Universitas Syiah Kuala. Penulis dapat dihubungi di ariski.septian@gmail.com
Mantap pak ariski
keren ki..