Meulaboh- Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) melakukan aksi di depan Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Kamis, 26 Oktober 2017.
Aksi tersebut meminta PN Meulaboh untuk segera mengeksekusi putusan Mahkamah Agung terhadap PT Kallista Alam (PT KA).
Fahmi Muhammad, juru bicara GeRAM mengatakan, tujuan aksi tersebut untuk mendorong PN Meulaboh memastikan PT KA segera membayar denda dan memulihkan lahan Gambut Tripa yang terbakar lima tahun yang lalu.
Ia menjelaskan, hasil putusan sudah ditetapkan oleh PN Meulaboh. Mahkamah Agung pun sudah menolak banding yang diajukan oleh PT KA pada 15 Agustus 2015. Sudah dua tahun berjalan, namun restorasi lahan dan denda ke kas negara sebesar Rp 366 milliar belum dibayarkan.
“Ini jelas-jelas telah merugikan negara,” kata Fahmi.
Tahun 2014, PT Kallista Alam dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Lingkungan Hidup yang dilakukan decara berlanjut di lahan rawa gambut Tripa, Kabupaten Nagan Raya.
Dalam putusan tersebut, PN Meulaboh memutuskan bahwa PT Kallista Alam harus membayar Rp. 114.3 milliar ganti rugi materiil ke rekening kas negara dan Rp. 251.7 milliar untuk memulihkan sebesar 1.000 hektar lahan yang terbakar.
Menurut Fahmi, putusan yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terhadap PT KA memiliki kekuatan hukum tetap (inkracth-van gewijsde). Namun, setelah sekian lama memberikan kesempatan kepada PT KA untuk melaksanakan putusan secara sukarela, PT KA belum juga melaksanakannya.
Namun anehnya, lanjut Fahmi, berdasarkan hasil penelusuran tim GeRAM, walaupun KLHK telah mengajukan beberapa kali surat permohonan eksekusi kepada Ketua PN Meulaboh, eksekusi ditangguhkan dengan alasan PT KA sedang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) tertanggal 28 September 2016. Padahal sebagaimana pasal 66 ayat (2) UU No. 14 tahun 1985 menyatakan bahwa PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
“Pada tanggal 18 April 2017, MA menolak PK yang diajukan PT KA, sehingga PN Meulaboh sudah seharusnya tidak menunda pelaksanaan eksekusi PT KA. Akan tetapi, faktanya, 20 Juli 2017, Ketua PN Meulaboh mengabulkan permohonan untuk memberikan perlindungan hukum yang diajukan oleh PT KA penetapan No. 1/Pen/Pdt/eks/2017/Pn.Mbo,” terang Fahmi.
PT KA kemudian menggugat kembali KLHK, Ketua Koperasi Bina Usaha, BPN Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Provinsi Aceh dengan Nomor perkara No. 14/Pdt.G/Pn.Mbo. Dengan adanya gugatan ini, PN Meulaboh berasalan bahwa eksekusi terhadap PT KA atas putusan tahun 2014 tidak bisa dilaksanakan, karena menunggu hasil putusan gugatan terhadap beberapa instansi pemerintah ini.
“Seharusnya, perkara gugatan terhadap pemerintah ini diajukan atau tidak, tidak ada hubungannya dengan alasan PN Meulaboh melakukan penundaan putusan tersebut,” kata Fahmi.
Lahan gambut Rawa Tripa merupakab salah satu dari tiga lahan gambut terbesar di Aceh, dengan kedalaman gambut mencapai 12 meter, sehingga membuat lahan tersebut sebagai penyimpan karbon terbaik. Selain itu, lahan rawa gambut berfungsi sebagai spons pengendali banjir, produksi perikanan, potensi pariwisata alam dan sebagai habitat keanekaragaman spesies yang sangat tinggi.
Fahmi mengungkapkan, kehancuran Tripa merupakan salah satu tragedi lingkungan yang harus diselesaikan, agar ke depan tidak terjadi lagi di tempat lain.
“Jika PT KA berhasil lolos dari eksekusi putusan, maka ini akan menjadi preseden buruk hukum lingkungan di Indonesia dan akan semakin banyak perusahaan yang berani mengabaikan lingkungan hidup, karena hukum bisa dipermainkan,” cetus Fahmi.
Salah satu pendemo, Chrisna, mengatakan, dua tahun lalu masyarakat telah memenangkan kasus bersejarah tersebut. Masyarakat kehilangan hak mereka terhadap lingkungan yang baik dan semakin lama, pihak perusahaan tidak melaksanakan restorasi di Tripa, dampaknya semakin besar.
“Kami hanya ingin keadilan di negeri ini ditegakkan,” tegasnya.
PT KA merupakan perusahaan sawit pertama yang menerima denda sangat besar akibat pengrusakan lingkungan hidup. Sejak putusan tersebut, ada beberapa perusahaan lain yang juga telah didenda akibat pengrusakan lingkungan, seperti PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Selat Nasik Indokwarsa, namun belum membayarkan denda kepada negara. Hal ini menyebabkan kerugian miliaran rupiah bagi Indonesia.[Rilis]
Editor: Junaidi Mulieng