Penulis: Mellyan
Panjang tulisan: 2751 kata
Siapa sangka, di rawa nipah itu tersimpan kisah heroik dan taktik jitu para pejuang Aceh melawan Belanda.
BASAJAN.NET- Meulaboh, Di atas tugu itu, sebilah parang terpancang di setandan nipah. Tugu itu membisu bersama sejarah. Padahal ia adalah simbol perang nipah. Dimana para pejuang Aceh dengan taktik dan keberaniannya melawan Belanda hingga titik darah penghabisan. Namun sayangnya, kisah heroik itu sangat sulit ditemukan di buku-buku atau jurnal sejarah.
Jika melintasi Banda Aceh-Meulaboh, anda pasti akan melewati simpang tiga Suak Timah, Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh Barat. Di sanalah Tugu Nipah berdiri. Namun karena bentuknya yang tidak begitu megah, keberadaan tugu itu sering luput dari pandangan mata, seperti abainya kita akan jasa endatu. Tugu nipah tak lebih hanya dari sekadar penanda jalan.
Menurut Teuku M. Ali, tugu sederhana itu dibangun untuk mengenang perang nipah. Pembangunannya diprakarsai oleh Cut Dawood dan persetujuan Keuchik Samatiga saat itu, Cut Agam, serta orang-orang tua di Samatiga, seperti Tgk. Ibrahim Khaled, Teuku Gadong, Pak Udin dan tokoh-tokoh lainnya.
“Tugunya dibangun tahun 1980-an untuk mengenang peristiwa perang Aceh akhir tahun 1800-an, dibuatlah simbol perang nipah,” ujar T.M Ali.
Dalam ingatan kolektif orang tua di Samatiga, yang kemudian diceritakan kepada T. M Ali, kala itu Belanda sedang menyusun strategi masuk ke Samatiga melalui sungai. Karena pada masa itu, akses yang paling mudah digunakan selain jalur darat adalah sungai atau laut. Lagipula jembatan penghubung belum ada, ataupun jika ada hanya terbuat dari potongan dahan kelapa yang masih sangat sederhana.
Samatiga menjadi incaran karena wilayah itu tidak terkalahkan. Perlawanan dari para pejuang Aceh, baik tua dan muda semakin meresahkan Belanda. Selain itu, yang membuat Belanda murka adalah berkibarnya Bendera Alam Peudeung, benderanya Kerajaan Aceh Darussalam di Jeurat Manyang, Cot Seumeureung yang menjadi pusat kerajaan Samatiga Raya saat itu.
Pejuang Aceh menyusun siasat untuk bersiap menghadapi Belanda, dan melumpuhkan pasukan serdadu itu. Pasukan Aceh bergabung dari Bubon, Woyla, Kaway XVI, Pante Ceureumen, hingga Gunong Meuh. Para pejuang sudah menunggu sambil bersembunyi di sepanjang rawa nipah dengan pedang, rencong dan kapak di tangan. Sebanyak 13 perahu sengaja dilubangi, kemudian ditutup dengan tanah liat.
Saat serdadu Belanda menaiki perahu untuk menghabisi para pejuang, perahunya mulai tenggelam karena air yang perlahan masuk dari lubang yang hanya ditutup tanah liat. Dalam keadaan panik, Belanda tidak siap menghadapi serangan tiba-tiba. Para pejuang Aceh yang sudah bersiap, mengambil kesempatan langsung menebas pasukan Belanda. Satu persatu mereka rebah di sungai dan rawa nipah. Kejadian itu berulang terjadi hingga siasat itu diketahui Belanda.
Menurut T.M Ali, lokasi Perang Nipah terletak antara Tuwi Pasong hingga Cot Darat. Kondisi alam Samatiga yang dikelilingi rawa Nipah, berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh pejuang Aceh. Jika selama ini Aceh dikenal dengan taktik gerilyanya di hutan belantara, pasukan Aceh di Samatiga menggunakan bentang alam-rawa nipah- pemberian Tuhan dengan sangat jitu.
“Hanya seorang serdadu yang selamat, dan melarikan diri ke Meulaboh,” terang T.M Ali.
Misteri yang sampai hari ini belum terpecahkan adalah letak kuburan Belanda korban perang Nipah. T.M Ali berasumsi, karena lokasi perang di dalam rawa nipah dan sungai, tubuh-tubuh serdadu tidak dimakamkan di darat, melainkan langsung dilempar ke sungai.
Cot Seumeureung Pusat Kerajaan
Rabu, 3 Ramadhan 1443 H, penelusuran membawa kami pada makam yang terletak tidak jauh dari tugu nipah. Kebanyakan orang mengira makam itu sebagai bagian dari perang nipah. Namun ternyata, kuburan tua itu tidak ada kaitannya dengan perang nipah. Mereka adalah para pejuang dari Aceh Selatan yang melintas melalui sungai, karena tertembak di daerah Samatiga, lalu dimakamkan di lokasi tersebut.
“Beda zaman dengan Perang Nipah, itu terjadi sudah pada zaman Jepang,” ungkap T.M Ali.
Saat kejadian Perang Nipah, Aceh juga termasuk daerah Samatiga Raya, masih dipimpin oleh Ulee Balang atau raja-raja kecil yang memegang pemerintahan di beberapa daerah, dan berada di bawah kepemimpinan Sultan Kerajaan Aceh Darussalam.
Salah satu Ulee Balang yang cukup berpengaruh saat itu adalah Teuku Diseumeureung yang memiliki nama asli Teuku Tamlekha. Karena memimpin wilayah Cot Seumeureung, maka ditabalkan nama Teuku Dicotseumeureung, yang makamnya kini terletak di Masjid Tuha.
Berdasarkan keterangan T.M. Ali, terdapat dua Teuku Di Cot Seumeureung yang eksis pada masa itu. Satu lagi berdomisili di Woyla yang makamnya kini terletak di dekat Polsek Woyla.
T. M Ali menyatakan, Samatiga Raya yang pusat kerajaannya berada di Cot Seumeureung ini berdiri pada tahun 1604, pada masa Sultan Mukammil berkuasa. Sang Sultan membuka wilayah Barat mulai dari Rigaih, Bubon, Seuneuam, hingga Singkil.
“Itu tercatat sejarah,” tegasnya.
HM. Zainudin dalam Tarikh Aceh dan Nusantara menyebutkan, jika Meulaboh atau yang dulu dikenal dengan Negeri Pasir Karam dibangun pada masa Sultan Saidil Mukammil (1588-1604 M) dengan mendatangkan orang-orang dari Aceh Besar dan Pidie. Kemudian saat Sultan Iskandar Muda memerintah, Negeri Pasir Karam bertambah maju pembangunannya.
Di tengah wawancara, T.M Ali tiba-tiba berhenti dan mengambil sebuah pigura yang terletak di ruang tamu rumahnya. Pigura itu ditutupi debu dan sarang laba-laba di bagian belakang. Ia memperlihatkan raja-raja Aceh yang berpose dalam suatu pertemuan. Kemudian ia menunjuk salah satu Raja yang diyakini adalah Raja Cot Seumeureung yang juga kakeknya.
“Ini Raja Tuha, kebetulan itu kakek saya,” ujarnya, sambil menunjuk salah satu Raja di foto hitam putih yang diperkirakan akhir tahun 1800-an itu.
“Dipegang saja fotonya, kan Nyakpo keturunan ini juga,” ujarnya kepada saya.
Dengan sedikit kikuk, saya menerima pigura itu dan melihat kemegahan ornamen hiasan pada dinding dan atap bangunan megah tempat para raja Aceh itu berpose. Meskipun fotonya hitam putih, kemegahannya terasa luar biasa.
“Harusnya semuanya lengkap, karena sebelum tsunami rumah kami terbakar, habislah semua bukti sejarah, hanya tinggal baju wol dan pedang milik raja Tuha. Foto ini selamat karena dipinjam Cut Ngoh,” terangnya.
Adapun silsilah dari Raja Bubon adalah Po Ru, Po Gah, T. Cut Amin, Bubon Sarong, T. Tamlekha, Nyak Raja dan T. M. Ali Mando yang memegang jabatan Raja Cot Seumeureung sampai ia meninggal tahun 1947.
Sepanjang hayatnya, T. M. Ali Mando dua kali menjabat sebagai Raja Bubon. Namun dalam perjalanannya, T. M. Ali Mando sempat menolak untuk dilantik kedua kalinya sebagai raja, meski diminta langsung oleh masyarakat, karena yang melantik Belanda.
“Jadi dilantiklah seorang raja oleh Belanda, masih keluarga juga,” terang T.M Ali.
Namun bertahun setelahnya, masyarakat bersama Ulee Balang lainnya kembali melantik T. M. Ali Mando sebagai raja untuk kedua kalinya, meski usianya kala itu sudah lanjut.
“Karena itu ia dikenal dengan sebutan Raja Tuha (raja tua),” tambah keturunan raja Cot Seumeureung ini.
Penggunaan Gelar Po dan Teuku
Menilik dua penguasa Cot Seumeureung tidak memiliki gelar Teuku, melainkan Po. Menurut T. M Ali, Po merupakan gelar untuk bangsawan Aceh, sedangkan Teuku merupakan gelar baru untuk menggantikan Po pada akhir 1700-an.
“Yang paling kita kenal seperti Poteumeureuhom. Poteumeureuhom Daya, adalah gelar untuk Raja Daya, juga Pocut Baren yang berasal dari kerajaan tua di Tungkop, Sungai Mas,” ungkapnya.
T. M. Ali mengatakan, Cot Seumeureung, dipimpin oleh dua orang Po, yaitu Po Ru dan Po Gah. Sepanjang pengetahuannya, belum ditemukan wilayah lain di Aceh Barat yang dipimpin oleh Po.
“Semuanya sudah memakai gelar Teuku,” terangnya.
Menurutnya, gelar “Teuku” secara resmi diberikan sekaligus dengan “Andi” untuk Sulawesi Selatan, “Van” untuk Belanda, dan “Sir” untuk Inggris, dalam salah satu deklarasi oleh Belanda.
Terdapat beberapa Ulee Balang atau penguasa wilayah, seperti Arongan Lambalek, Bubon, Lhok Bubon, Teunom, Woyla. Di Woyla, jika ditelusuri lebih jauh akan ditemukan empat raja seperti halnya juga di di Teunom. Sedangkan di Cot Seumeureung ditemukan 9-10 raja, T. M. Ali sendiri merupakan keturunan ke 12.
Untuk mengkonfirmasi informasi mengenai penggunaan “Teuku”, saya menghubungi Hermansyah melalui Whattsap, seorang Filolog Aceh. Ia menjawab pertanyaan saya dengan pembuka “Wah berat nih pertanyaannya.”
Kemudian lebih lanjut menjelaskan, beberapa minggu yang lalu ia sempat meng-update status di laman Facebooknya, dan membuka ruang diskusi terkait sejarah penggunaan Teuku pertama kali digunakan.
“Dari beberapa sumber memang menyebutkan sudah ada sebelum Belanda datang ke Aceh. Sedangkan Po/Poteu itu penghormatan kepada orang-orang tertentu,” terangnya.
Kemudian ia mengirimkan beberapa manuskrip yang ditemukan oleh Masykur dari Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa), isinya tentang “Gelar Teuku Tertua”. Pada manuskrip pertama disebutkan gelar “Teuku” sudah ada pada tahun 1191 H/1777 M yang digunakan Teuku Cut, anaknya Teungku Faqih Geulumpang Minyeuk.
Manuskrip itu berjudul naskah Nazam Aqidah yang dikarang oleh Tuanku Sayid Busu (Sayyid Ahmad bin A’li Az-Zahid), koleksi T. Hasballah, Dayah Tanoh, Pidie. Sumber foto digital British Library EAP329/17/19. Kemudian ia mengirimkan satu manuskrip lagi, Teuku Lam Pucok tahun 1221 H/1805 M.
“Naskah ini merupakan koleksi meusium Aceh,” tulisnya. Keduanya jauh sebelum perang Aceh tahun 1873 M.
Dalam Blog Teungku Puteh, terdapat dua pendapat mengenai asal usul gelar Teuku dan Cut yang menjadi ciri khas kaum Uleebalang dan keturunannya. Pertama gelar ini dibuat pada masa Pemerintah Kolonial Belanda. Para Uleebalang diberi gelar Teuku (laki-laki) dan Cut (perempuan), sebelumnya para pemimpin mukim lazim disebut Imum atau Panglima bahkan Datok di pesisir Barat Aceh.
Selanjutnya gelar Teuku dan Cut diperuntukkan untuk keluarga raja atau Uleebalang di wilayah otonom dan berlaku turun-temurun meskipun mereka (sudah) tidak menjabat. Gelar ini (diduga) sengaja diciptakan oleh Belanda untuk menjadi lawan tanding ulama yang bergelar Tengku. Sedangkan gelar Tuanku, Tuwanku dan Pocut adalah gelar untuk keluarga Sultan Aceh.
Kedua, gelar ini telah digunakan sebelum Belanda datang. Asal kata “Teu” berasal dari kata “tu” (ada pada kata nektu yang dalam bahasa Indonesia berarti nenek buyut), “tuha” yang berarti (tua atau orang tua) sedang “ku” berasal dari kata aku (subjek orang pertama).
Teuku bisa diartikan “orang tuaku” atau dalam kata lain orang yang dianggap mengayomi. Sedangkan “Cut” berarti kecil, mungil atau cantik. Artinya masyarakat menganggap pemimpin mereka sebagai orang tua yang dihormati. Meskipun sebutan Teuku dan Cut sudah terlebih dahulu ada, namun diduga yang memformalkan dalam bentuk jabatan atau gelar kebangsawanan adalah pemerintah kolonial Belanda ketika berkuasa di Aceh.
Samatiga Basis Pertahanan
Adapun bukti lainnya bahwa Samatiga masa itu menjadi basis pertahanan perang adalah munculnya nama Kuta yang berarti benteng. Di antara Gampong Cot Pluh dan Cot Darat satu kawasan yang dikenal dengan sebutan Lamkuta.
“Di Masjid Baru juga ada Kuta. Itu bukti bahwa sepanjang sungai Samatiga ini dipenuhi Kuta. Meskipun sekarang bentuknya sudah tak terlihat, karena sudah dijadikan area persawahan, namun namanya masih melekat,” terang T.M Ali.
Terkait dengan Lamkuta, agar namanya tetap terkenang, para ulama, camat dan tokoh di Samatiga sepakat menabalkan Lamkuta sebagai nama sebuah yayasan di Samatiga. Hal tersebut memperkuat bahwa daerah tersebut pernah menjadi basis perjuangan di masa perang Belanda.
“Jadi itu bukan inisiatif segelintir orang. Bahwa Samatiga ini tidak dapat takluk. Itu bukti sejarah masih ada kuta,” sambung T.M. Ali.
Sangat banyak bukti sejarah yang hilang ditelan zaman, penyebabnya beragam, mulai dari ketidakpedulian, hingga bencana seperti tsunami, banjir dan sebagainya. Sehingga hanya sedikit yang tertinggal dari bukti-bukti itu. T.M. Ali pernah mendengar dari orangtuanya, dulu di beberapa lokasi di Samatiga terdapat batu nisan berukir.
“Namun sayang, itu pun hilang, ada yang sengaja dihilangkan, sisanya dijadikan batu asah,” sesalnya.
T. M. Ali mengaku pernah pergi dengan boat untuk melihat batu nisan berukir di pulau Sada. Karena pulau Sada tidak terlihat, tersembunyi di tengah sungai, maka nisan berukir itu masih bisa dilihat sampai sekarang.
“Namun tentang tulisan di batu itu saya tidak mengerti,” ucapnya.
Berdasarkan cerita yang ia dengar dari orangtuanya ketika ia masih kanak-kanak (tahun 1960-an), di daerah Masjid Tuha dan Cot Seumeureung, dulunya terdapat banyak batu nisan berukir. Di tempat itu para raja dikuburkan. Namun ketika Belanda mulai menyerang, keturunan para raja itu menyembunyikan batu-batu itu dengan cara menguburnya di tempat berbeda dari makam asli.
Batu-batu berukuran tinggi itu menarik Belanda untuk datang dan menginterogasi keturunan para raja. Namun sayangnya, dalam kekacauan bahkan setelah perang usai, tidak ada yang mengingat untuk mengembalikan lagi batu-batu itu ke tempat semula.
“Sampai sekarang hilang tak tahu kemana,” ujarnya.
Menurut T. M. Ali, Belanda kala itu terus mencari keturunan dari raja-raja di sana hingga menelusurinya ke bentuk pusara.
“Akhirnya disembunyikan untuk menghilangkan jejak,” sambungya.
Memang di sekitaran wilayah Aceh Barat, sulit sekali ditemukan nisan berukir. Berbeda dengan wilayah Banda Aceh-Aceh Besar, hingga Aceh Utara atau sepanjang pantai Utara Timur yang dengan mudah menemukan bukti sejarah tersebut.
Menurut T. M Ali, hal tersebut bermula dari kebencian Belanda dan usaha keluarga menyembunyikan makam para raja tersebut. Seperti halnya Belanda yang mengejar Teuku Umar, bahkan sampai jasadnya menjadi incaran Belanda. Umar saat itu menjadi incaran Belanda paling fenomenal, kepalanya dihargai 25 ribu gulden. Pergerakan pasukan Teuku Umar diketahui Van Heutsz atas petunjuk seorang pengkhianat. Ribuan pasukan dikerahkan dari segala sisi untuk melumpuhkan Sang Panglima.
Setelah perang panjang, 11 Februari 1899, di pantai Batu Putih, peluru menembus tubuhnya. Agar jenazahnya tidak diambil Belanda, pasukan setianya mengelabui dengan membuat petilasan makam. Mereka melarikan Umar ke Pucok Lueng, pedalaman Suak Raya. Kemudian singgah di Masjid Tuha Ranto Panyang, Kecamatan Meureubo, melalui Reudeup dan dibawa lagi ke Pasi Meugat. Pohon durian tempat tandu jenazah disandarkan, kini dikenang dengan Drien Tandu.
Kemudian ke Meunasah Gantung, lalu ke Gunong Glee Rayeuk Tameh di Mugo, Kaway XIV. Kini makamnya berada di rimbunan pepohonan, dingin, sepi, hanya ditemani nyanyian jangkrik.
T. M Ali menerangkan, selain Teuku Umar, kepada para pejuang dan raja-raja, Belanda juga berlaku hal yang sama. Hanya saja, tidak semua tertulis dalam sejarah.
“Termasuk keluarga pejuang dan raja-raja dihilangkan jejak, itu surat perintah khusus dari Ratu Belanda,” terangnya.
Mengenai Kerajaan Bubon, T.M Ali meyakini kerajaan tersebut eksis dan berjaya di masanya.
“Kalau kerajaan Bubon, Teuku Diseumeureung itu memang ada dalam sejarah dan makalah tercatat saat muzakarah,” sebutnya.
Sultansinindonesieblog mencatat, Kerajaan Bubon terletak di Sumatera, Kabupaten Aceh Barat, Aceh. Pada masa Kesultanan Aceh, kerajaan itu merupakan vasal atau bawahan sultan Aceh dan dipimpin oleh raja yang bergelar Uleebalang. Setelah berakhirnya Perang Aceh, tahun 1914, Bubon masuk Onderafdeling Meulaboh, sebagai “swapraja”. Namun sayangnya, blog tersebut tidak menyebutkan sejarah dan silsilah raja Bubon.
T.M Ali juga menyinggung mengenai cap pengkhianat yang sering kali dialamatkan kepada para Ulee Balang. Menurutnya, yang dikatakan pengkhianat dari para Teuku adalah mereka yang diciptakan/lantik oleh Belanda sendiri. Misalnya, Belanda melantik Uleebalang yang mau bekerjasama dengan mereka. Sedangkan di sisi lain terdapat Uleebalang yang menolak Belanda, tetap berjuang sepenuh hati sekuat tenaga demi mempertahankan marwah negeri.
Seperti Raja Tuha, yang tidak mau menghadiri pelantikan karena dilakukan oleh Belanda. Kemudian Belanda mencari pengganti Raja Tuha dan melantik Ulee Balang yang bersedia tunduk pada Belanda.
“Setelah Belanda melemah, para tetua melantik kembali Raja Tuha sebagai Raja Bubon, banyak sejarah yang diselewengkan,” ucap lelaki berkulit sawo matang ini.
Ia meyakini jika Aceh tidak pernah menyerah kepada Belanda. Di berbagai wilayah, perjuangan terus dilakukan, bahkan ketika Sultan terakhir Aceh terpaksa menyerah karena Belanda menawan keluarganya.
T.M Ali teringat kisah seorang meugaleh-penjual jalanan. Ia menjual buah-buahan, berbagai kudapan hingga tikar. Ia sering menjajakan dagangannya hingga ke markas Belanda. Suatu hari, ketika pimpinan pasukan Belanda hendak menaiki kendaraannya, sang penjual mendekat. Karena terbiasa dengan kehadiran pedagang itu, Belanda abai. Tiba-tiba saja penjual itu menusuk pimpinan pasukan Belanda dengan Ruduh (sejenis pedang khas Aceh) yang disembunyikan dalam gulungan yang tikar jualannya.
“Kejadiannya di Calang, dan pedagang itu tahu setelah kejadian ia akan mati. Tetapi mati syahid dalam kebanggan,” jelas T.M Ali yang menjabat Camat Calang tahun 1982 ini.
Ruduh itu terkadang dibuat seperti tongkat, di dalamnya terdapat pedang. Biasanya untuk pertahanan diri.
Biayai Kuliah dengan Dua Kancing Baju Wol
T.M Ali sendiri menduduki jabatan Camat sejak tahun 1982 hingga 2003 di berbagai kecamatan di Aceh Barat. Kemudian berturut-turut ia menjabat Sekretaris BPM, Kepala bagian organisasi, Sekretaris Dinas pertanian, Kepala Perindagkop 2006, kepala dinas Pertambangan dan Energi, stah ahli, kepala Badan Kesbangpol dan pensiun di situ.
“Dari 1982-2012, Alhamdulillah dalam jabatan. Tidak ada bangku panjang, semua berkat Allah taala,” ujarnya penuh syukur.
Kemudian ia terkenang baju wol milik sang kakek (Raja Tuha), yang kancingnya sempat dijual.
“Dua kancing emas itu cukup membiayai kuliah saya,” kenangnya terhadap dua kancing yang telah membawa jalan kesuksesan itu.
“Tapi sekarang saya menyesal telah menjualnya. Padahal nilai sejarahnya luar biasa, tetapi ketika itu tidak tahu dan sedang butuh biaya,” sesalnya.
Kemudian ia berjalan ke ruang kerja, dan kembali dengan beberapa kertas di tangan. Ternyata kertas itu adalah undangan Seumuleung yang dilakukan di Aceh Jaya, tempat kerajaan Daya dulunya berdiri. Ia hadir dua kali tahun 2016-2017 di sana sebagai keturunan Raja Bubon. Bahkan ia memperlihatkan surat yang ia layangkan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh untuk menelusuri jejak kerajaan Bubon.
“Ini bukan untuk berbangga diri, tapi untuk meluruskan sejarah, agar anak cucu tahu keberanannya. Dicari yang mana keturunan raja Bubon. Jadi tercatat, yang mana keturunan raja-rajanya,” ucap pria 68 tahun ini.
T.M Ali mengatakan, kehadirannya di seumeuleung pada tahun 2015 dikarenakan pada waktu itu tidak ada yang mau hadir. Tradisi Seumuleung merupakan upacara khusus yang dulu dilakukan Sultan Inayat Syah untuk menobatkan anaknya sebagai Sultan Kerajaan Daya pada tahun 1480 M, bertepatan dengan hari Idul Adha.
Ia sangat berharap kepada generasi muda untuk terus menggali sejarah dan kebenaaran tentang Aceh yang banyak diselewengkan.
“Tolong digali selagi masih ada orang-orang tua, ini menyangkut dengan sejarah di Samatiga. Termasuk perang nipah dan sejarah lain,” ujar ayah empat anak ini.[]
Bersambung bagian dua...
============================
EDITOR: JUNAIDI MULIENG