Penulis: Muhajir Al-Fairusy*
Dari rentetan pesan WhatsApp group, berita duka memecah suasana siang Minggu, 18 September 2022. Cendekiawan Islam Indonesia itu terasa pergi begitu cepat, Azyumardi Azra (67 tahun). Nama yang kerap berjejer di rak buku perpustakaan, karya yang diburu oleh banyak scholar yang menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi Islam, salah satunya yang paling monumental adalah Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Akar Pembaruan Islam Indonesia.
Buku ini tampaknya telah beberapa kali mengalami tahan cetak ulang dan edisi perenial. Sebagai peminat sejarah Islam Nusantara, buku ini adalah buku penting untuk dibaca, di sana Azra menggambarkan dengan cukup teratur dan tajam bagaimana Islam menapaki dan menjelma sebagai peradaban di Nusantara yang dimulai dari Aceh.
Aceh berhutang jasa atas pengetahuan Azra dalam menggelar tikar narasi sejarah Islam Nusantara. Betapa tidak, saat Aceh digebuk oleh wacana penetapan titik nol Islam Nusantara di Barus, Sumatera Utara, sejarawan Islam ini kembali hadir meluruskan sikap politik semena-mena penguasa negeri pada tahun 2017, yang mengabaikan dan mengangkangi peran dan jejak sejarah Islam di Aceh.
Dalam beberapa cuplikan youtube dan seminar meluruskan jalan ahistoris yang terlanjur ditetapkan tersebut, Azra dengan tegas mengatakan pandangannya terhadap peran Islam Aceh sebagai poros awal Islam Nusantara. Jejeran jejak Islam dari Peureulak, Pasee hingga Kesultanan Aceh Darussalam diurai runut oleh Azra.
Dari buku yang ditulisnya, Azra juga menggambarkan bagaimana kosmopolitanisme Aceh dengan Islam yang berperadaban membangun ilmu pengetahuan negerinya. Jaringan intelektual Abdurrauf as-Singkily dan Nuruddin Ar Raniry yang hidup pada abad ke 17 dan 18 M, digambarkan begitu jelas oleh Azra, sekaligus ia meluruskan kesalahan (ahistoris) karya-karya sebelumnya tentang sejarah Aceh yang runtuh dari temuan terbarunya.
Tak hanya perannya dalam pengetahuan sejarah Islam dan Aceh, Azra jelas berperan menjadi sosok cendekiawan yang konsisten mewacanakan Islam yang harmoni dan toleran bagi keberlangsungan demokrasi dan nilai kebangsaan Indonesia. Orasi ilmiahnya yang dapat disaksikan di mana-mana adalah simpul bagi keutuhan bangsa, tak lantas dicabik oleh narasi radikal yang kerap mengancam Islam Indonesia.
Di Hermes Palace Aceh, dalam sebuah seminar, saya berkesempatan mendengar langsung orasi ilmiah Azra mengenai Islam, Sejarah dan Kebudayaan. Amat teratur dan mengalir penyampaiannya. Hampir tanpa jeda dia berceramah. Ia cendekiawan penting bagi kebangsaan dan pengetahuan sejarah Islam yang amat kosmopolitan.
Sebagai seorang guru besar di salah satu PTKIN, sekaligus menjadi guru bangsa bagi segenap insan akademik PTKI dan manusia Indonesia, Azra adalah produk dari cita-cita PTKI sebagaimana diimpikan oleh Harun Nasution. PTKI harus menjadi poros dan oase pengetahuan Islam dan nilai Islam damai yang terus menjaga keutuhan bangsa Indonesia, di mana saja.
Lewat corong Studia Islamika yang dikelola oleh Azra juga, wajah Islam Indonesia disuarakan hingga ke segenap panggung dunia. Wajar ia orang Indonesia pertama yang mendapat gelar kehormatan Sir dari CBE (Commander of The Order of British Empire), salah satu gelar kehormatan yang diberikan oleh Kerajaan Inggris sebagai bentuk apresiasi dan rasa hormat atas kontribusi positifnya. Kontribusi Azra begitu besar untuk bangsa ini, mulai pengetahuan hingga cara pandang. Selamat jalan Sir Azyumardi Azra, manusia fana, tapi karya dan pemikiran senantiasa abadi. (*)
=============
* Dosen Antropologi STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, dan Peneliti Kawasan Perbatasan Aceh.