Bloh Apui

oleh -1,990 views
Ilustrasi: Liputan6

“Kunna yana rukuni, bardan wa salamu ala Ibrahim. Ya Said Ahmad Ibnu Alwafazamzama alaihim zamhuma zambihim, takhfu wa ala takhfa ala Ibrahim. Sijuek ban ie, leupie ban timah. Berkat doa Nabiyullah Ibrahim.(Sejuk seperti api, dingin seperti timahBerkat doa Nabiyullah Ibrahim).” 

(Nerajah Api)

 

BASAJAN.NET, Meulaboh- BARA API MENYALA, Syeh mulai merapalkan doa dan nerajah (mantra-mantra). Sekelompok laki-laki mulai bergerak mengikuti irama rapai. Mereka secara bergantian menginjakkan kaki di atas bara api merah membara. Setiap kali kaki-kaki telanjang itu menyentuh bara, teriakan histeris penonton pecah di antara tabuhan rapai dan rapalan mantra.

“Ayo siapa yang mau mencoba? InsyaAllah dengan keyakinan, tidak apa-apa,” ujar Syeh Jaleman. Ia adalah pemimpin piasan Bloh Apui (menginjak api).

Satu persatu, penonton pun mulai tergerak untuk menguji nyali, memacu adrenalin di atas bara api. Mereka berjalan cepat, bahkan ada yang berlari. Jangankan terbakar, kaki-kaki telanjang itu melepuh pun tidak. Piasan Bloh Apui berlangsung meriah.

“Sebelum atraksi dimulai, kita berdoa kepada Allah agar api tidak melukai kulit. Saya terlebih dahulu melakukan salat hajat,” jelas Jaleman.

Salat hajat biasanya ia lakukan sebelum atraksi dimulai. Saat kayu-kayu masih tersusun dan belum dibakar. Setelah salat hajat dua rakaat, baru kemudian kayu dibakar hingga menyisakan bara api. Bloh Apui merupakan salah satu piasan yang paling ditunggu. Ketegangan dan riuh tepuk tangan penonton membahana, ketika kesenian ini tampil.

Jaleman mewarisi seni Bloh Apui dari sang Ayah. Seni yang diwarisi turun temurun. Kini, seni itu pun telah ia warisi kepada sang anak. Meski begitu, Jaleman tetap memberi kesempatan bagi siapa saja yang ingin belajar.

“Jika ada yang tertarik, saya bersedia mengajarkannya,” ujarnya seraya tersenyum ramah.

Jaleman berkulit putih, sebagian besar rambutnya telah memutih. Namun semangatnya untuk mengembangkan seni Bloh Apui tak pernah padam. Ia ingin generasi setelahnya tetap bisa menikmati kesenian ini.

“Ilmu itu memang harus di bagi-bagi. Harus yakin dan memang perlu latihan serius,” ucapnya.

Selain ketekunan dan keyakinan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang ingin belajar kesenian ini. Di antaranya, menyerahkan sirih dalam cenara (ranub bate), kemenyan dan kain putih kepada Jaleman.

“Ini semacam serah terima saja,” terangnya.

Agar lebih fokus dan berkembang, Jaleman mendirikan kelompok seni bernama Grup Laksamana. Sanggar seni ini beranggotakan 17 orang. Mereka sering tampil dari panggung ke panggung festival seni maupun hajatan, seperti pernikahan, khitanan dan sebagainya.

Mulanya Grup Laksamana hanya menampilkan Rapai Geleng dan Rapai Daboh. Kedua seni ini diiringi beberapa penari dengan gerakan-gerakan ritmis dan dinamis mengikuti tabuhan rapai. Rapai Geleng banyak menggunakan gerakan kepala dan tangan. Sedangkan Rapai Daboh adalah rapai yang mengiringi debus.

Ketika Pekan Kebudayaan Aceh atau PKA pertama, tahun 1958, di Banda Aceh, Jaleman mulai tampil dengan formasi piasan seni lengkap. Mulai dari Rapai Geleng, Rapai Daboh hingga Bloh Apui. Hal itu pula yang membuatnya dikenal dengan julukan Jaleman Bloh Apui.

Jaleman sadar, untuk mempertahankan kesenian ini diperlukan peran generasi muda. Karena itu pula, ia merekrut anggota Grup Laksamana yang masih belia. Saat ini, rentang usia anggota Laksamana mulai dari 15 hingga 60 tahun.

“Yang tua mengajarkan yang muda, agar tidak hilang ditelah zaman,” ucapnya.

Ayah empat orang anak ini berkisah, lebih dari 30 tahun beraksi, baik dengan Rapai Daboh maupun Bloh Apui, Grup Laksamana belum pernah mengalami cedera. Meski kedua seni itu cukup beresiko.

“Alhamdulillah belum pernah ada kejadian. Semoga Allah selalu melindungi,” harapnya.

Grup Laksamana yang dipimpin Jaleman juga pernah tampil di Jakarta bersama Grup Sidalupa. Ia memiliki mimpi, kesenian ini dapat dikenal lebih luas.

Saat ini, Jaleman tinggal bersama istri dan anaknya di Desa Leukeun, Kecamatan Samatiga, Meulaboh, Aceh Barat. Selain mentas dari panggung-ke panggung, pekerjaan tetapnya bertani dan berkebun.

Di tangannya, kesenian ini terus berkembang. Meskipun banyak hambatan dan rintangan, namun mereka terus berjuang mempertahankan kesenian warisan endatu.

Jaleman sangat mencintai piasan seni. Ia berharap pemerintah mau mendukung usahanya itu, yang selama ini memang kurang diperhatikan. Paling tidak, memfasilitasi pembelian baju seragam untuk Grup Laksamana.

“Jika baju itu tersedia, maka rezeki pementasan akan datang selalu,” ujar Jaleman mengenang perkataan salah satu tokoh masyarakat Aceh Barat.

Jaleman mengakui, jika grup seninya memang pernah mendapatkan bantuan Rp6 juta. Namun uang itu telah digunakan untuk membangun rangkang tempat latihan, tidak bisa menutupi keperluan seragam. Meski demikian, ia berterimakasih kepada pemerintah yang telah memberikan dukungan untuk Grup Laksamana.

Jaleman orang yang sangat gemar berbagi, termasuk ilmu Bloh Apui yang baginya bukan merupakan sebuah rahasia. Siapa pun yang mau mempelajari atau sekedar menanyakan tentang nerajah untuk Bloh Apui, pasti dengan senang hati ia berikan.

“Hai keumeunyan,

Aku tahu asal mula,

Engkau jadi u tan minyeuk,

Molem premon asai mula molem jabat.

Engkau jadi sirullah nama keumeunyan ku

Zatullah asal keumeunyan ku,

Kah ku surôh kah ku seuraya,

Siklèp sikla seukeujab sikutika.

Kutueng kah keu ubat ku tuengkah keu peunawa,

Ku tuengkah ke peunuleh …”

Menurut Jaleman, mantra itu mampu menjinakkan api, hingga tak melukai para pelaku Bloh Apui. Doa-doa juga ia bacakan ketika menampilkan seni Rapai Debus.

“Namanya nerajah beuso (besi),” ujar Jaleman.

Rapai Daboh atau lebih dikenal dengan debus merupakan sebuah pertunjukan seni yang sangat terkenal di Aceh. Pertunjukan seni yang tergolong ekstrim ini, selalu dipadati penonton tiap kali atraksi ditampilkan.

Rapai Daboh sangat unik, mempertontonkan kolaborasi antara tabuhan rapai dan debus. Tabuhan rapai terlihat seirama dengan gerakan debus, saat para pedebus menyayat atau menusuk perut, tangan, wajah maupun kaki. Mereka bergerak sesuai irama rapai.

Abdul Rani Usman dalam bukunya yang berjudul Budaya menjelaskan, kata rapai berasal dari suatu tarikat yang menggunakan sebuah alat perkusi (alat musik pukul) sebagai media penyampaian ajaran untuk mengumpulkan massa. Tarikat yang dimaksud merupakan sebuah jalan mendekati Allah.

Ada beberapa tarikat yang terkenal di Aceh kala itu, di antaranya Tarikat Naqsabandiyah dan Qadariyah. Masing-masing tarikat ini memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan ajarannya, termasuk dengan media penyebaran ajaran.

Awalnya, rapai daboh berfungsi sebagai latihan untuk memperkuat fisik. Latihan rapai daboh ini dipimpin oleh seorang syeh yang disebut khalifah. Kemampuan syeh inilah yang nantinya akan melindungi para pedebus dari cedera benda tajam.

“Kita kerap mendengar cerita tentang endatu Aceh yang terkenal kuat dan kebal terhadap senjata,” kata Rani Usman.

Rapai Daboh banyak berkembang di pesisir Aceh Barat, Nagan Raya dan Selatan Aceh. Biasanya, saat tampil rapai daboh terbagi dalam dua tim. Tim pertama terdiri dari para penabuh rapai, biasanya mereka menggunakan pakaian hitam, namun ada juga yang menggunakan pakaian berwarna lainnya. Di atas pentas, mereka mengambil tempat di bagian belakang. Kemudian masuk para pedebus, yang mulai mengikuti irama rapai sambil menikam benda tajam ke tubuhnya. Jumlah mereka sekitar satu hingga tiga orang.

Benda tajam yang biasa digunakan di antaranya rencong, pedang, pisau, rantai dan kayu-kayu pemukul yang besar. Saat ini aksi dabus yang ditampilkan bermacam-macam, mulai dari pertunjukan kebal terhadap api, aksi membakar diri, menyemburkan minyak dan menyulutkan api ke udara, hingga makan beling. Semua aksi menyeramkan ini tidak membuat luka apa pun bagi si pedabus.

Jika para penabuh dan khalifah (syeh) memakai pakaian lengkap, dengan tengkulok, maka para pendebus tidak memakai baju, hanya celana saja. Hal tersebut dilakukan agar para penonton dapat melihat dengan jelas atraksi debus, saat benda-benda tajam mengenai kulit.

##

JULI 2018, Gampong Seuneubok Ujong, Kecamatan Johan Pahlawan yang biasanya sepi, malam itu terlihat berbeda. Beberapa tenda yang dihias kain warna hijau, merah dan kuning didirikan. Tua, muda, laki-laki dan perempuan, bahkan anak-anak mengambil tempat di depan panggung. Sebuah rumah telah di hias, pelaminan sedang dipasang. Hari itu salah satu warga gampong sedang mengadakan hajatan pernikahan. Malam itu, pemilik rumah menghadirkan Grup Rapai Geleng sebagai hiburan bagi masyarakat yang berkunjung. Grup Rapai Geleng itu didatangkan dari Rantoe Panyang, Kecamatan Meureubo.

Sepuluh anak muda dengan pakaian putih dipadu songket, mulai membentuk formasi di atas pentas. Sembilan orang duduk berjejer dan satunya lagi, yang paling muda, berada di depan barisan. Usia mereka rata-rata sekitar belasan tahun, kecuali yang duduk di barisan depan, berusia tujuh tahun. Di bagian paling belakang, dua syeh siap melantunkan syair. Penampilan mereka disambut riuh tepuk tangan penonton.

Malam itu, syair yang dilantunkan lebih banyak berupa nasehat, sebagai pesan pengingat bagi calon pengantin agar pandai mengurus rumah tangga. Bijak dalam menempatkan diri, serta tidak pernah melupakan kedua orang tua dan saudara kandung yang telah bersamanya sejak lahir. Selain mampu memukau setiap tamu dengan gerakan-gerakan yang ditampilkan, beberapa syair yang dilantunkan pun menimbulkan keharuan.

Mulanya, gerakan rapai geleng beritme lambat. Makin lama, makin cepat. Ketika gerakan semakin cepat, panonton semakin riuh, suasana tampak sangat meriah. Bahkan anak-anak terlihat berdiri mendekati panggung. Mereka meniru gerakan-gerakan tersebut.

Rapai Geleng  sendiri memiliki beberapa fungsi jika ditilik dari makna syair-syair yang dibawakan, seperti pada bagian salawat, saleum (salam), riwayat Nabi Muhammad SAW dan pengesaan Allah, tuhan sekalian alam.

Selain itu, Rapai Geleng juga mempunyai fungsi sosial budaya untuk mengekspresikan emosional, sehingga mampu menarik penonton untuk menikmati keindahan gerak dan musik. Rapai Geleng mempunyai fungsi sebagai hiburan.

Rapai Geleng merupakan kesenian tradisonal yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Syair Rapai Geleng biasanya mengekspresikan tema yang akan disampaikan kepada penontonnya.

Jarum jam sudah menunjuk pukul 02.00 WIB, dini hari. Namun piasan seni belum berakhir. Para penonton juga belum berniat beranjak dari kursi masing-masing. Anak-anak yang biasanya tidur cepat, malam itu masih terlihat bersemangat.

Setelah penampilan Rapai Geleng, beberapa penari perempuan naik ke panggung. Mereka bersyair dan berdendang mengikuti irama. Mereka juga melantunkan salawat dan nasehat untuk sang pengantin. Tak lama kemudian, rombongan Rapai Geleng kembali naik ke panggung. Mereka mementaskan semacam drama mengenai kehidupan petani di perkampungan.

Gerakan-gerakannya sangat dinamis. Sebagian berpakaian seperti petani, ada yang menjadi orang-orangan sawah dan seorang perempuan yang sedang hamil. Tarian itu juga menggambarkan tradisi top pade (tumbuk padi). Para penonton kembali bertepuk tangan. Sesekali terdengar gelak tawa saat pak tani dan sang istri bertengkar atau ketika orang-orangan sawah itu tiba-tiba oleng ditiup angin. Dengan kostum yang mendukung, penampilan grup rapai malam itu memukau penonton.

Tidak sampai di situ, para remaja penerus tradisi itu kembali beraksi. Sekarang yang tinggal hanya dua syeh. Mereka mulai bersyair, berisikan nasehat dan nazam. Tiba-tiba seorang pemuda tanggung naik ke pentas. Ia hanya memakai celana. Tubuhnya berkilat ditimpa cahaya lampu. Ia mulai beraksi, tubuhnya bergerak mengikuti tabuhan rapai.

Atraksi debus membakar diri dengan api. (BASAJAN.NET/MELLYAN)

Selang beberapa saat, ia mengambil bola lampu di lantai panggung. Seperti kesurupan, bola lampu itu dikunyah. Tidak ada darah yang keluar dari mulutnya. Bahkan atraksinya semakin mengerikan. Lelaki muda itu mengambil parang dan mulai menyayat tangan, kaki bahkan lidahnya. Ia juga menusuk-nusuk perutnya. Para penonton berteriak histeris, terutama perempuan. Sesekali mereka menutup mata, karena kengerian.

Anak muda itu masih melangkah gagah di atas panggung. Tubuhnya terus bergerak mengikuti irama rapai. Jangankan terluka, goresan pun tak membekas di tubuhnya. Penonton kembali berteriak histeris, ketika anak muda itu mengambil minyak tanah dan membalurkan ke seluruh tubuhnya, termasuk kepala. Ia mulai menyalakan bola api dan menyulut tubuhnya. Ia juga mencoba membakar rambutnya. Namun sang pemuda masih berdiri tegak dan meneruskan aksinya, menyemburkan api.

Menjelang pukul 03.00 WIB, syeh menutup atraksi Rapai Debus dengan sekali tabuhan yang kuat. Sang pemuda turun dari panggung disambut tepukan tangan penonton.[]

 

WARTAWAN: MELLYAN

EDITOR: JUNAIDI MULIENG

 

One thought on “Bloh Apui

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.